Triwisakasana: Konversi BBM ke BBG dan Pengaruhnya pada Angkutan Massal

pksgrogol.com – Jakarta. Pemerintah berencana menerapkan kebijakan pembatasan dan pengurangan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, sekaligus konversi dari BBM, terutama premium ke pertamax dan Bahan Bakar Gas (BBG) April mendatang.

Beberapa kalangan melihat kebijakan ini sebagai langkah strategis pemerintah untuk mengurangi beban subsidi BBM di APBN dan mengendalikan penggunaan bahan bakar berlebihan di masyarakat. Dalam jangka panjang, melalui kebijakan ini dapat berdampak positif terhadap pengaturan sistem transportasi.

Namun tidak sedikit kalangan yang pesimis, program ini dapat berjalan baik dan benar-benar mencapai tujuan yang diinginkan. Pasalnya, mereka berpendapat program pembatasan dan konversi ini terkesan terburu-buru, minim sosialisasi, dan tidak disertai kesiapan infrastruktur yang matang.

Persoalan konversi BBM ini juga mendapat perhatian serius dari kalangan DPRD DKI Jakarta. Karena secara tidak langsung, kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia ini berdampak terhadap sistem transportasi massal di Jakarta.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Trwisaksana mengatakan, pada dasarnya kebijakan yang dibuat Kementerian ESDM sangat strategis, khususnya dalam mendorong perbaikan sistem transportasi massal menjadi lebih baik dan ramah lingkungan. Namun dia menegaskan, kebijakan tersebut tidak akan efektif jika tidak disertai dengan kesiapan-kesiapan mendasar.

“Yang terpenting dari kebijakan ini adalah infrastruktur,” ujar Triwisaksana, Kamis (19/1). Pria yang akrab disapa Bang Sani ini mengatakan, bercermin dari penyelenggaraan Transjakarta selama ini, persoalan utama yang dialami adalah keterbatasan infrastruktur seperti SPBG (Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas) dan waktu pengisian yang lama, memakan waktu 2-3 jam.

Akibat dari dua persoalan ini, menimbulkan permasalahan berikutnya yaitu waktu kedatangan-keberangkatan bus Transjakarta yang tidak tepat waktu, dan penumpukan penumpang di halte. Sehingga Transjakarta yang diharapkan dapat menjadi salah satu solusi permasalahan transportasi di Ibukota, malah menjadi beban baru.

“Belum lagi kalau dikaitkan dengan kemacetan. Sementara salah satu penyebab kemacetan di Jakarta dalam angkutan umum,” kata dia. Sani mengingatkan, kebijakan pemerintah akan gagal jika dua persoalan mendasar dalam operasional Transjakarta ini ikut dialihkan ke dalam program nasional konversi BBM ke BBG.

“Transjakarta masih ada subsidi. Tapi bagaimana dengan angkutan umum selain Transjakarta yang tidak ada subsidi. Kalau program ini tidak disiapkan secara matang, justru semakin membebani para pengusaha dan supir angkutan umum. Karena mereka harus mengganti tabung dan sistem operasi mereka kan rit-ritan,” cetus Sani.

Kalau program ini dipaksakan tanpa kesiapan infrastruktur yang memadai, lanjut dia, pendapatan para pengusaha dan pengemudi angkutan umum bisa-bisa menurun karena waktu mereka habis untuk pengisian BBG.

Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) DKI Jakarta ini memaklumi, selain untuk mengurangi beban subsidi BBM di APBN, kebijakan ini juga untuk mendukung pemeliharaan dan pelestarian lingkungan. Karena BBG sangat ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM, terutama premium.

“Juga harus diingat, tidak semua BBM tidak ramah lingkungan. Sekarang ini sudah ada solar yang ramah lingkungan, memenuhi standar Euro-3. Artinya, ramah lingkungan,” ujar pria kelahiran Jakarta 40 tahun ini.

Karena itu, Sani menegaskan, sebaiknya pemerintah menerapkan program pembatasan dan konversi BBM ke BBG ini secara bertahap dan prioritas, misalnya untuk beberapa jenis angkutan umum sebelum diterapkan secara massal. Bahkan implementasi pada April mendatang, menurut Sani, dijadikan sebagai tahapan uji coba dulu tiga sampai enam bulan.

Yang tidak kalah penting, menurut politisi PKS ini, adalah sosialisasi secara menyeluruh, jelas, dan bekerjasama dengan berbagai pihak yang terikat secara tidak langsung dengan program ini.

“Misalnya, pemerintah mendekati organisasi pengusaha angkutan umum agar mereka memberikan penjelasan kepada para karyawannya. Jika tidak dilakukan sosialisasi yang jelas, para pengusaha dan supir angkutan umum bisa menolak kebijakan ini,” pungkas Sani.
 

REPUBLIKA, edisi cetak | Kolom: Kabar Jabodetebek, hal. 22, Jumat, 20 Januari 2012


Sumber: triwisaksana
Untuk berita terbaru, ikuti PKS Grogol di Twitter dan Facebook

Related News

Tidak ada komentar :

Leave a Reply