pksgrogol.com – Islamedia – “Pak Haji..!” Seseorang berteriak. Entah kepada siapa. Saya tetap berjalan. Ternyata teriakan itu semakin kencang. Terpaksa menoleh dan terlihat teman serombongan memanggil-manggil saya. Oh, dia memanggil saya rupanya. Ketika di Mekkah dan Madinah memang ada sesuatu yang baru dan aneh didengar telinga saya. Panggilan Haji itu. Ya panggilan yang biasa disematkan kepada orang yang telah melaksanakan haji. Saya tidak terbiasa.
Walau sebelum berangkat pergi haji, ada yang selalu
memanggil saya dengan sebutan itu di kantor, saya anggap sebagai sebuah
doa.
Begitu pula saat seorang bapak pengatur lalu lintas di pintu keluar
komplek akan
berkata: “Terima kasih Pak Haji,” ketika ada uang seribu rupiah
berpindah ke
tangannya, saya anggap sebagai sebuah doa. Alhamdulillah doa mereka
terkabul,
saya bisa pergi haji.
“Bu..! Bu...! Bu Rahmi...!” seseorang memanggil kepada
ibu-ibu itu. Ibu itu tidak menengok sama sekali. “Bu Haji! Bu Haji
Rahmi!”
perempuan yang bernama Rahmi itu berhenti dan menengok dengan senyum
yang
begitu sumringah dan berkata kepada yang memanggilnya, “Nah gitu dong,
Haji itu
mahal.” Aih... segitunya. Tetapi itu gurauan yang sering didengar saat
berangkat haji. Kepada yang punya nama Rahmi mohon jangan tersinggung.
Ini
sekadar contoh.
Kenyataannya? Ada juga memang yang tidak menengok kalau
tidak dipanggil dengan sebutan haji di depan namanya.
Wah...wah...wah...Insya
Allah saya tidak seperti itu. Tetapi saya selalu berusaha memanggil
seseorang,
tetangga ataupun teman yang telah pergi haji dengan sebutan itu. Bukan
untuk
apa-apa tetapi sebagai bentuk penghormatan saya kepadanya. Tidak berniat
untuk
membuatnya ujub atau merasa riya’dan sum’ah.
Jikalau ada seorang ustadz dan ia pun telah berhaji, saya
lebih berat memanggilnya dengan sebutan ustadz saja, karena menurut saya
panggilan ustadz itu lebih berbobot daripada sebutan haji. Menandakan ia
orang
yang alim dan berilmu. Tidak semua orang yang haji berilmu bahkan kita
tahu di
pemberitaan kalau 70% dari jama’ah haji Indonesia tidak atau kurang tahu
tentang manasik haji.
Walaupun demikian mengapa sebutan haji itu saya
sematkan pada mereka sebagai bentuk penghormatan? Karena bagi saya,
secara
zahir mereka telah benar-benar mengeluarkan pengorbanan yang begitu
banyak
untuk bisa ke tanah suci. Mulai dari harta, diri mereka, dan keluarga.
Ibadah
haji itu berat. Perlu tenaga fisik yang prima untuk menyelesaikannya
dengan
penuh kekhusu’an. Banyak cobaannya. Terutama ujian kesabaran sampai
ambang
batasnya. Saya merasakannya sendiri.
Maka tak perlu heran, kalau di zaman penjajahan dulu
atau sebelum era transportasi modern seperti sekarang ini, orang yang
pergi
haji dihormati sekali karena untuk perjalanannya saja sampai butuh waktu
berbulan-bulan lamanya bahkan sampai hitungan tahun. Entah dengan naik
unta,
kuda, atau kapal laut. Penjajah Belanda
pun sering mewaspadai orang yang telah pergi haji karena seringkali
mereka adalah
pionir kebangkitan perlawanan terhadap kepentingan kolonial.
“Enyak, memanggil saya dengan Pak Haji atau enggak,
enggak ada bedanya Nyak, enggak berubah Insya Allah,” kata saya pada
Enyak yang
telah lama bekerja di keluarga kami. “Ah, enggak Pak Haji. Pamali,”
katanya.
“Orang zaman sekarang pada bangga dengan gelar
keduniaan. Doktor, profesor, sarjana berderet di depan dan belakang
namanya tapi enggan dengan gelar atau
panggilan haji,“ kata salah seorang tetangga kampung sebelah yang
bertamu di
rumah kami. Ia belum pergi haji dan tetap memaksa saya dengan sebutan
Pak Haji.
Memang di kampung sebelah yang mayoritas Betawi itu panggilan haji
terasa
begitu sakral. “Enggak semua orang bisa pergi haji,’ lanjutnya lagi.
Terserah Bapak sajalah. Yang penting saya
tidak memaksa Bapak untuk memanggil saya dengan sebutan itu.
Sebutan dan panggilan itu bagi saya—dan entah buat
orang lain—memang rawan untuk terjadinya ‘ujub, riya’, dan sum’ah.
Tetapi saya
tentunya tidak bisa memaksa mereka untuk menghentikan sebutan itu.
Karena semua
itu kembali kepada diri masing-masing. Sering-seringlah istighfar ketika
memang
ada terselip itu saat kita tidak dipanggil dengan sebutan Pak atau Bu
Haji.
Makanya ada yang mengetatkan bahwa panggilan atau
gelaran haji itu bid’ah. Bagi saya tak masalah. Artinya sampai
mewajibkan orang
lain untuk memanggil dirinya dengan sebutan itu, memang bisa terjerumus
ke arah itu. Tetapi enggak bisa dong ketika
ada yang memanggil saya Pak Haji lalu mereka dikatakan sebagai ahlul
bid’ah.
Waduh ini keterlaluan banget deh. Berlebihan.
Sebutan haji memang enggak ada di zaman nabi dan para
sahabat. Tetapi sering kali kita menyebut-nyebut seseorang dengan
sebutan
syaikh, hujjatul Islam, ustadz, al Hafidz, padahal di zaman nabi dan
para
sahabat sebutan itu pun juga tidak ada. Enggak ada tuh
Ustadz Abu Bakar Assyidiq, Syaikh Umar bin Khatthab, Hujjatul
Islam Utsman bin ‘Affan, Ali Al Hafidz,
padahal di zaman sekarang banyak disematkan juga sebutan itu kepada
orang-orang
seperti Syaikh Fauzan, Ustadz Firanda, Hujjatul Islam Ibnu Taimiyyah,
dan
Assudais Al Hafidz.
Kalau ada yang mengatakan bahwa panggilan haji
berkaitan dengan agama maka panggilan Syaikh, hujjatul Islam, ustadz,
dan Al
Hafidz juga berkaitan dengan agama pula. Dan jika memang panggilan haji
itu
adalah laqab-laqab yang tidak syar’i dan bertentangan dengan keikhlasan
kepada
Allah Subhanahu wa ta’ala, maka saya bisa saja mengatakan bahwa sebutan
Syaikh,
Hujjatul Islam, Ustadz, Al Hafidz juga adalah laqab-laqab yang tidak
syar’i dan
bertentangan dengan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Padahal
masalah keikhlasan adalah masalah batin. Saya tak tahu apa isi terdalam
di hati
mereka.
Bahkan panggilan yang berkaitan dunia dan tidak ada
kaitannya dengan agama sama sekali, bisa jatuh pada hal yang haram jika
hanya
akan membuat diri kita kurang ikhlas dalam beramal, timbul rasa sombong
dan
‘ujub.
“Za, bukan mereka yang menghendaki sebutan Syaikh,
Ustadz, Hujjatul islam, Al Hafidz, tetapi para pengikut atau umatnya
yang
menghormati mereka,” mungkin ada orang yang akan berkata demikian. Jika
demikian mengapa khusnudzan itu juga
tidak kita berikan kepada orang-orang yang telah pergi haji? Bukan
mereka, Pak
Haji dan Bu Haji, yang menghendaki sebutan haji itu tetapi masyarakat
dan
tetangga yang menghormati mereka.
Bagi saya, masalahnya bukan pada bahwa gelaran haji itu
berkaitan dengan masalah agama atau dunia, atau bukan pula bahwa hal itu
ada di
zaman nabi dan para sahabat atau tidak, tetapi akankah mengakibatkan
terhapusnya amal-amal kita atau enggak?
Makanya betapa banyak juga dari mereka, mengutip
Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an, memilih untuk tidak
menggunakan gelar-gelar kesarjanaan, keulamaan, maupun Haji/Hajjah, demi
menghindari riya’ dan kesombongan. Dan hanya menggunakannya pada saat
yang
diperlukan misalnya untuk kepentingan administrasi saja. Sehingga tidak
serta merta
kita latah mengatakan mereka yang menyematkan semua gelaran itu sebagai
ahlul
bid’ah. Hanya Allah dan diri mereka yang dipanggil atau menyematkan
dengan
sebutan itu, yang tahu apakah mereka riya’ atau tidak.
Bagi saya, jika saya dipanggil Pak Haji, anggap saja
sebagai sebuah peringatan apakah saya memang layak untuk disebut itu,
jika
tingkah laku saya jauh dari apa yang diharapkan oleh agama ini.
Bagi saya, jika saya dipanggil Pak Haji, anggap saja
sebagai sebuah pembatas atau pengekang, untuk tidak melakukan apa-apa
yang
dilarang oleh agama ini. Kalau ingat satu hal ini maka saya jadi malu.
Malu
banget. Tak layak sekali.
Bagi saya, jika saya dipanggil Pak Haji, anggap saja
sebagai sebuah muhasabah, sarana introspeksi diri, apakah haji saya
diterima
oleh Allah? Saya tentu berharap sekali demikian. Dan tentu pula
panggilan itu
tak sebanding dengan penerimaan Allah.
Bagi saya, jika saya baru nengok jika dipanggil Pak
Haji atau berasa gimana gitu kalau
tidak dipanggil hanya dengan nama saja, maka cukup alarm itu sebagai
tanda
riya’. Semoga saya masih bisa diberikan kesempatan untuk mengucapkan
istighfar
pada saat itu juga.
Bagi saya, lebih memilih tidak dipanggil Pak Haji untuk
menjaga semua itu. Tetapi eits...jangan-jangan kalimat pertama di
paragraf ini
pun layak untuk di-istighfar-i, hanya sekadar supaya bisa disebut orang
yang
tawadhu atau rendah hati. Aduhhh... kemana-mana salah. Kemana-mana setan
mengintip. Lindungi saya ya Allah.
*
Kertas tanda terima peminjaman dokumen itu ada di depan
saya. Siap untuk diteken. Teman saya sudah berdiri menunggu untuk
menerima
kertas itu. Saya tanda tangani, saya beri tanggal, saya beri nama: Riza
Almanfaluthi di bawah tanda tangan. Saya berhenti sejenak, terus
bertanya, “Min,
perlu saya tulis H di depan nama saya atau tidak nih?” What the,
hahaha...
***
Riza Almanfaluthi
Tidak ada komentar :