pksgrogol.com - Jakarta. Kebiasaan berburuk sangka telah ada sejak lama. Di
sekitar kita, bila dicermati, bertebaran sikap manusia yang berprasangka
buruk. Sebutlah pandangan mata curiga, sinis, ekspresi kecut yang penuh
apriori, sampai dalam bentuk sikap kasar yang tidak bersahabat.
Menurut para ahli, buruk sangka merupakan salah
satu mekanisme psikologis yang paling alamiah dalam diri manusia. Karena
itu, sulit sekali menghilangkan buruk sangka. Banyak faktor yang memicu
merebaknya prasangka-prasangka buruk:
1. Faktor lingkungan
Lingkungan memberi pengaruh yang cukup besar bagi
lahirnya sikap buruk sangka. Lingkungan dimaksud bisa keluarga,
masyarakat, tempat bekerja, sekolah, dan lain sebagainya. Lingkungan
yang kejam, kotor, dan tidak sehat seringkali memberi pengaruh kuat bagi
lahirnya kebiasaan buruk sangka. Bahkan, dalam budaya orang-orang
‘primitif’, buruk sangka seringkali menjadi acuan utama kehidupan sosial
mereka, sebagai kompensasi timbal balik dari lingkungannya yang memang
buruk.
Seperti yang terjadi pada suku Dobu di Melanesia.
Ideologi hidup mereka adalah sihir. Akibatnya, paradigma hidup mereka
pun banyak yang terjungkal. Setiap anak-anak Dobu meyakini bahwa
kehidupan mereka diatur oleh kekuatan sihir. Maka, begitu ada yang
terkena bencana atau musibah, muncullah aksi balas dendam dari
keluarganya kepada pihak-pihak yang diduga telah menyihir anggota
keluarganya.
Setiap orang dari suku tersebut selalu takut kalau
diracun. Makanan dijaga ketat. Hanya dengan orang-orang tertentu saja
suku Dobu mau makan bersama. Sikap curiga, buruk sangka, tidak dapat
dipercaya, menjadi budaya hidup mereka.
Lingkungan hidup yang keras bisa menumbuhsuburkan
sikap cepat curiga. Ia identik dengan medan tempat setiap orang harus
bertarung mempertahankan hidupnya.
Berjibaku mengejar apa yang bisa ia makan, meski
harus memangsa orang lain dengan jalan yang salah. Bagaimana dengan
lingkungan kita? Atau Bagaimana dengan lingkungan kerja kita?
2. Keyakinan yang salah
Keyakinan yang salah bisa melahirkan buruk sangka.
Termasuk dalam kategori ini adalah ideologi atau aqidah yang salah.
Seperti berburuk sangka kepada Allah, dengan menuduh-Nya tidak adil.
Orang-orang jahiliyah sebelum Islam punya keyakinan yang terkait erat
dengan prasangka buruk. Setiap memasuki hari-hari yang baru, mereka
mengukur nasib dengan apa yang pertama kali mereka lihat. Bila pagi itu
mereka melihat ular, atau burung gagak, atau apa saja yang berwarna
hitam, pertanda hari buruk sedang menanti.
Dalam Islam, perilaku seperti itu disebut dengan tathayyur.
Secara bahasa, tathayyur artinya sebuah perilaku menyandarkan
sikap kepada burung (tha-ir). Tindakan seperti itu dilarang
keras oleh Islam karena bisa merusak kemurnian akidah.
Buruk sangka dengan kemasan keyakinan seperti itu
masih banyak menyebar dalam masyarakat. Terlebih bila masyarakat
tersebut dahulunya penganut paham animisme. Tetapi, dalam perkembangan
selanjutnya, masyarakat modern pun banyak yang masih terjerat perilaku
seperti itu. Banyak yang menggantungkan nasibnya kepada ramalan-ramalan
aneh.
3. Kepentingan Politik
Kepentingan-kepentingan politik juga menjadi
pemicu lahirnya sikap buruk sangka. Definisi kepentingan politik yang
dimaksud tidak selalu harus dalam konteks kekuasaan di sebuah negara,
dari tingkat lurah sampai presiden. Bisa saja berbentuk politik
pencapaian jabatan di sebuah instansi, politik pencapaian tujuan
tertentu dalam sebuah organisasi, atau dalam sebuah komunitas
masyarakat.
Di jaman Soeharto berkuasa, tak sedikit kebijakan
politik yang dijalankan berdasarkan buruk sangka. Kekhawatiran dan
ketakutan kepada umat Islam dalam kurun yang cukup lama telah menjadi
alasan untuk berlaku diskriminatif kepada anak bangsanya sendiri.
Tragedi Priok misalnya, telah banyak memakan
korban. Bahkan banyak orang yang sama sekali tak punya urusan dengan
peristiwa Priok juga terdzalimi dengan kejam.
Pendek kata, kepentingan politik telah menjadikan
alasan sistem kewaspadaan nasional sebagai pembenaran tindakan-tindakan
brutal, yang dasarnya hanya prasangka buruk. Identifikasi bahwa semua
orang Islam yang nampak konsisten disebut bagian dari ekstrim kanan,
yang akan merongrong kewibawaan negara, menggulingkan pemerintahan yang
sah, adalah idiom-idiom buruk sangka yang terus dijadikan komoditas
politik Soeharto. Sayangnya, idiom ekstrim kanan juga masih didengungkan
oleh penguasa saat ini. Bahkan, muncul kebiasaan menyebarkan prasangka
dan keresahan dengan menyebut inisial, sebagai tertuduh dalam beberapa
kasus.
Tentu semua orang tidak ingin, bila bangsa ini
terus menerus dipimpin oleh penguasa yang kebijakan politiknya hanya
berdasar buruk sangka, berpijak pada asumsi-asumsi buta, atau bahkan
hanya karena selera suka atau tidak suka.
4. Estimasi Pertahanan Diri
Kadang, orang punya prasangka buruk demi
kepentingan mempertahankan diri. Rasa aman yang ingin diperoleh
seseorang sering kali diwujudkan dengan membuat lingkar pengaman secara
psikologis atas semua orang yang dihadapi. Kebiasaan ini bahkan telah
merambah ke sektor-sektor kehidupan harian. Ada penelitian unik (Baron
& Byrne,1997) tentang kecenderungan para perawat di rumah sakit yang
enggan merawat orang-orang gemuk, karena prasangka ringan (mild
prejudice) yang tak berdasar. Mereka berprasangka bahwa orang gemuk
umumnya sulit diberi pelayanan perawatan. Tentu saja ini belum tentu
benar. Tapi, begitulah adanya.
Estimasi pertahanan diri yang dasarnya buruk
sangka sangat berbahaya. Ia bisa melahirkan stereotipe. Sebuah
penyeragaman pandangan atas suatu obyek dengan totalitas. Seperti
sangkaan bahwa ‘laki-laki yang menuntun motor di tengah malam itu pasti
pencuri’, ‘orang yang berambut panjang itu pasti preman’, dan lain
sebagainya.
Pengalaman unik seorang pemuda berikut bisa
menjadi pelajaran. Arman (24 tahun), sempat gemetar dan serta merta
menjauhi laki-laki berkulit gelap berminyak, berambut gondrong, berbadan
besar serta berpakaian lusuh yang menghampirinya. Malam itu, ia
terpaksa tidur di emperan toko. Arman bukan pengemis atau gelandangan,
melainkan pemuda ‘rumahan’ yang ‘terlunta-lunta’ di Jakarta. Dari
Surabaya, Arman memutuskan mendatangi teman lamanya di Jakarta. Ia
berencana menetap sementara di rumah temannya sambil mencari kerja,
berbekal ijazah SMA dan beberapa ijazah kursus. Di luar dugaannya,
sewaktu tiba di alamat yang dituju, temannya sudah pindah, dan -suatu
hal yang tidak aneh- para tetangga tidak tahu alamat barunya.
Malam mulai tiba. Sementara Arman tidak ingin
mengeluarkan uang untuk menginap di losmen. Ia khawatir, uang
simpanannya keburu habis sebelum nasibnya jelas. Ketika malam semakin
larut, akhirnya ia memilih emperan toko untuk bermalam. Tapi segera ia
menyesali pilihannya, karena laki-laki gondrong itu sekonyong-konyong
menghampirinya. Di kepalanya sudah berkecamuk, orang seram seperti itu
pasti akan merampok, menganiaya atau bahkan membunuhnya.
Tapi laki-laki itu dengan ramah menegurnya, dan
mengajaknya berbincang. Akhirnya, Arman justru menceritakan masalah yang
menimpanya. Melihat ketulusan di sorot mata laki-laki itu, Arman
tiba-tiba yakin, ia orang baik-baik. Bahkan ia melihat, laki-laki itu
seperti iba padanya. Menurut pengakuan laki-laki itu, ia memiliki adik
yang sebaya Arman, dan sekarang tinggal di kampung halamannya, di daerah
Sumatera.
Akhirnya, malam itu Arman justru menginap di rumah
laki-laki itu, di daerah kumuh pinggiran kali Ciliwung.
Dan orang yang
kemudian dipanggilnya Abang itu memberinya pekerjaan, sebagai kenek bis
yang dikemudikannya. Beberapa bulan Arman tinggal di rumah laki-laki
itu, yang ternyata benar-benar baik dan memperlakukan Arman seperti
adiknya. Ia juga heran, di jaman seperti ini, masih ada orang yang tulus
seperti itu. Kini Arman sudah bekerja sebagai pegawai di suatu kantor.
Tapi ia tidak pernah melupakan kebaikan sang Abang.
Sikap stereotipe menilai sesuatu secara
keseluruhan juga dialami oleh Musyarif (26). Ia mengisahkan pengalaman
yang tak akan ia lupakan. Suatu hari seperti biasa ia naik bis umum dari
tempat tinggalnya di Bekasi ke Jakarta untuk bekerja. Menjelang keluar
tol UKI, dilihatnya seorang laki-laki dengan kacamata hitam terus
mendekat-dekat kepada seorang wanita berjilbab. Musyarif yakin bahwa
seorang copet sedang siap-siap beraksi. Ia berusaha sedikit menghalangi
laki-laki itu. Begitu bus menurunkan penumpangnya di UKI, wanita
berjilbab itu menggamit laki-laki berkacamata hitam itu dan menuntunnya.
Ternyata laki-laki itu buta. Dari cara wanita itu membimbingnya, bisa
dipastikan ia suaminya, atau paling tidak salah satu keluarga dekatnya."
Bila berlebihan, buruk sangka karena estimasi
pertahanan diri bisa menjadi penyakit kepribadian seperti paranoid.
Di mana orang punya rasa takut yang sangat berlebihan. Hingga
melahirkan anggapan secara konsisten bahwa orang lain berusaha menuntut,
merusak, atau mengancam. Bahkan, orang yang berpenyakit seperti itu
menolak menceritakan rahasia kepada orang lain karena takut kalau
informasi tersebut digunakan untuk melawan dirinya. Bisa juga berdampak
kepada gangguan kepribadian skizotipal. Yaitu suatu sikap dan
penampilan ganjil, selalu curiga, dan kecemasan sosial yang luar biasa
terhadap orang yang tidak dikenal.
5. Ilmu yang Pas-Pasan
Keterbatasan ilmu juga menjadi pemicu bagi
munculnya sikap buruk sangka. Minimnya pengetahuan akan berpengaruh pada
kemampuan seseorang untuk memandang masalah, menyimpulkan, serta
menentukan sikap atas berbagai peristiwa.
Dalam beberapa disiplin ilmu, kata ‘prasangka’
secara definitif diartikan sebagai penguasaan masalah sebesar 50 persen
atau lebih tapi tidak sampai seratus persen. Ia sekaligus lawan dari
kata ‘faham’, yaitu penguasaan masalah hingga seratus persen. Maka,
orang yang tidak faham, sangat mungkin memaknai sesuatu dengan cara yang
salah.
Setiap orang harus sadar, bahwa di atas yang tahu
masih ada yang lebih tahu. Di atas yang berilmu masih ada yang lebih
berilmu. Apalaqi hampir semua ilmu itu dinamis, berkembang, dan
memunculkan hal-hal baru.
Buruk sangka karena keterbatasan pengetahuan bisa
dihindari dengan mencari tahu. Dahulu, ketika Rasulullah memutuskan
menerima perjanjian damai dengan orang-orang Quraisy di Hudhaibiyah,
sebagian sahabat -termasuk Umar bin Khatab- memandang itu sebagai
kekalahan. Tetapi dikemudian hari ia menyadari kekeliruan dugaannya.
Dahulu, Musa menganggap Hidhir telah bertindak
aniaya. Membolongi perahu, membunuh anak, serta memperbaiki bangunan di
suatu kampung yang penduduknya pelit. Setelah dijelaskan alasannya
barulah ia menyadari bahwa dugaannya itu salah.
Disisi yang lain, ada juga hasil kesimpulan yang
akhirnya memberikan nilai minus/kurang atas diri seseorang, yang mana
instrumen penilaiannya benar-benar berdasarkan perangkat penilaian yang
obyektif (misalnya mengacu pada poin-poin syakhsiyah
Islamiyah). Namun ironisnya penilaian itu justru dianggap
sebagai kesimpulan yang dipenuhi oleh rasa buruk sangka. Akibatnya,
orang yang ilmu-nya pas-pas-an justru menaruh simpati kepada orang yang
telah dinilai kurang tersebut. Lebih parah lagi jika rasa simpati itu
sudah bersemayam sejak lama, sehingga melahirkan sikap proteksi atas
semua penilaian yang kurang atas orang yang dikaguminya. Inilah bentuk
lain dari buruk sangka terhadap suatu evaluasi yang obyektif.
Wallahu’alam. Hanya orang yang kuat dan berilmu, yang mampu memikul
amanah.
8. Diskriminasi ‘Besar-Kecil’
Adanya diskriminasi atas ‘orang-orang kecil’ oleh
‘orang-orang besar’ dalam berbagai bentuk juga merupakan salah satu
korban buruk sangka. Seringkali orang-orang kaya memenuhi pikirannya
dengan persepsi bahwa orang-orang miskin itu kumuh, udik, bodoh, bahkan
pencuri. Padahal, orang-orang ‘besar’ banyak juga yang profesinya
sebagai koruptor dan penjahat berkerah putih.
Seorang pembantu rumah tangga wanita, sebut saja
Tina, di kawasan Jakarta Selatan pernah pergi meninggalkan majikannya
karena tidak tahan dengan perlakuan diskriminatif yang ia terima.
Kedekatan anak-anak majikannya dengan dirinya akhirnya tak mampu
meluluhkan hatinya untuk pergi.
Kebetulan sekali saat ia pamit, baru saja ada
penghuni rumah itu yang kehilangan uang. Dan, dengan serempak dirinya
yang diperiksa. Tas kecil miliknya yang berisi pakaian pun tak urung
dibongkar dan diacak-acak. Tina berusaha tabah meski sebagai manusia
normal ia sebenarnya tidak rela diperlakukan kasar.
Diskriminasi ‘besar-kecil’ terjadi dalam banyak
bentuk. Budaya feodalisme yang merambah beragam sektor kehidupan turut
membudidayakan kebiasaan buruk sangka menjadi penyakit yang menyerang
kemana-mana. Seorang tentara mengira dirinya yang paling kuat, sedang
orang sipil itu lemah. Seorang dokter merasa dirinya yang paling punya
pengetahuan tentang kesehatan, sedang pasien itu bodoh dan tidak tahu
menahu soal penyakit.
Orang tua merasa dirinya paling tahu sedang
anak-anaknya yang mulai tumbuh dianggap anak bau kencur yang tak
mengerti apa-apa. Seorang kepala bagian, seorang manajer, seorang
direktur, seorang ketua, merasa bahwa orang-orang yang berada dibawahnya
lebih rendah dari dirinya. Rasialisme oleh rezim apartheid di
Afrika juga bagian dari bentuk prasangka buruk, bahwa orang kulit putih
lebih mulia dari orang kulit hitam. Semua itu adalah perilaku buruk
sangka yang diskriminatif dan tidak semuanya benar.
Urat nadi buruk sangka masih sangat banyak. Dengan
menekan semaksimal mungkin sikap berprasangka buruk, setidaknya kita
telah memberi kontribusi yang cukup berarti bagi kelangsungan hidup
banyak orang.
Ya, kita memang harus berpikir sebelum bertindak. Kita
harus berpengetahuan sebelum berkesimpulan. Sebuah pembiasaan diri yang
tidak ringang, memang. Agar kita tidak salah langkah lagi dikemudian
hari, karena hidup ini tidak mengenal siaran tunda. Wallahu’alam
Tidak ada komentar :