Tuhan, Biarkan Ibu Istirahat

pksgrogol.com – Jakarta. Tolong  jangan ambil nyawaku. Sebelum mereka tampak mapan mengarungi hidup ini.

Lirih do'a Ibu, yang samar aku dengar setiap malamnya, membuat aku tak kuasa menahan tangis. Ia tetap tampak cantik di usianya yang lanjut. Indah dalam balutan mukena yang walau sudah usang.

***

Perjuangan seorang ibu, adalah suatu hal yang paling aku banggakan. Berusaha sekuat tenaga meredam semua impian anaknya lewat bakul kuenya, entah.. sudah berapa banyak langkah yang telah ia tempuh, berapa jarak jauhnya dalam melangkah, meniti sebuah perjuangan dalam hidup.

Terkadang bunyi kemericik minyak goreng di waktu mendekati subuh sudah menjadi santapan kami anak-anak yang masih tertidur pulas dengan mimpi indah semu. Kadangkala, bunyi itu menghilang, bahkan nyaris tidak terdengar, namun bukan berarti berhenti dalam pekerjaannya, melainkan menyiapkan kembali adonan untuk kue berikutnya dengan jenis yang berbeda. Aku termenung dalam kepedihan hati, jika ada satu kalimat yang pantas aku ucapkan, pastilah kalimat itu adalah “Bu, istirahatlah dulu sebentar,. Biarkan matamu terpejam walau hanya sesaat..” Beban hati itu tak dapat aku utarakan, apakah karena kelemahan hati ini yang tersakiti karena beban hidup yang begitu besar, dengan merelakan tangan tua keriput itu berpadu dengan adukan kue dan gagang penggorengan yang menjadi teman setia ibu dalam mengabdikan diri bagi anak-anaknya tanpa pamrih dan tidak bisa dibayar dengan apapun selain senyum kami sebagai anak-anakmu.

Aku terbangun dengan kepedihan hati dan keresahan jiwa, namun tidak dengan ibu, yang selalu menunjukkan kekuatan paginya dengan segelas teh hangat, beberapa kue gemblong buatannya dan seember air semangat yang selalu menemaninya disisi kamar ini. Jika ibu merasa ngantuk, pastilah dicelupkan kedua kakinya diwadah yang sudah diisinya air, sehingga rasa ngantuk terdalampun bisa teratasi. Betapa besarnya pemberian bagi anak-anakmu demi selembar uang kertas yang dinilainya mampu kujadikan senjata ampuh untuk menggenggam harapan yaitu menuntut ilmu. Merasakan yang tersulitpun tetap dirasakannya indah meskipun tangan kaki bahkan tubuh yang mulai gemetar menembus pagi seperti layaknya burung yang tidak pernah tertahan untuk terbang meskipun angin dan hujan menerpa. Yang tertinggal dalam hatiku jika melihat wajah ibu mulai lemas dan tangannya mulai bergetar hebat karena batas letih yang ia rasa, aku hanya bisa berlutut dan berdoa, “Tuhan, berikanlah ibu kesehatan..selalu, dan selamanya...”.


***

“Nang, sarapan dulu..”. Itu suara indah yang kudengar setiap paginya. Dengan sisa tenaga yang masih dia sisakan, ia sediakan beberapa kue gemblong dan teh hangat di atas ubin ruang tamu yang mungkin bagi kalian tampak begitu sempit, tapi bagi kami, inilah istana kami. Tempat kami tinggal, penuh cinta dan kasih sayang.

Ia mulai mengangkat bakul kuenya, ketika dia pastikan kami sudah pergi meninggalkan rumah. Dengan sorot matanya yang aku tafsir berat melepas kami, tapi dengan lambaian tanganya ia hantarkan kami dengan doa tulusnya. Walaupun keraguan hebat di dalam hatinya terpancar kuat dalam senyum indahnya, seakan mengisyaratkan keletihan jiwa untuk selalu menemaniku hingga kami benar-benar menjadi seperti apa yang dia harapkan. Tetesan air matanya menebus rona jiwa dan sisi-sisi alamku, ketika harus melepaskan kami untuk berjalan sendiri menyusuri dusun kecil dikampung, entah menuju kemana yang pasti kepercayaan penuh demi cita-cita kami. Sepenggal harapan yang selalu dia sematkan yakni menjadi orang yang “rendah hati” dapat kami jadikan semangat menyusuri hidup yang tidak pernah diketahui maknanya. Aku-pun hanya berharap bahwa Ibu akan baik-baik saja dan menemukan kebahagian dari Dia yang empunya kehidupan ini.

***

Ayah, andai saja kau masih hidup. Mungkin ibu tidak akan seletih ini. Berjuang sendirian menghadapi kehidupan yang semakin sulit. “Kumohon Tuhan, kembalikan ayahku, turunkan ia untuk menemani ibuku”. Meski aku sadar bahwa doa itu mustahil untuk dikabulkan, tak henti-hentinya aku meminta. “Aku hanya ingin ibu bisa istirahat yah...”.

Kusapu air hangat yang mengalir dipipi saat ibu membuka matanya terbangun karena suara ringikan tangisku. Ia membelai wajahku, sunyi tanpa kata. “Ibu, cepatlah sembuh..” Bulan depan aku Wisuda.. katanya ibu mau lihat aku jadi insinyur..” iring senyuman lirihku menahan pedih tangis dalam hati. Dan,. rasa bahagia mendalam merasuk ke dalam lubuk jiwaku saat melihat garis senyum di bibirnya. Satu momen yang tak pernah aku rasakan semenjak tiga bulan yang lalu.

***

Bu, lihat anang sekarang sudah jadi insinyur. Anang akan jadi orang besar bu. Anang janji. Ibu tidak usah repot lagi buat kue untuk dijual, karena anang akan jadi orang besar bu, anang akan jadi orang Kaya.


Aku tak peduli walau tampak seperti orang gila. Berbicara pada gundukan tanah yang basah karena hujan. Aku tak peduli seberapa kotor bajuku, memeluk tanah dan berkali-kali ku ciumi. Dengan berat aku meninggalkannya, kusisipkan topi Toga diatas kayu tua bertuliskan namanya. “Ibu harus percaya, anang sudah jadi insinyur bu... sekarang ibu bisa istirahat.... anang akan jadi orang besar bu...”


Untuk setiap peluh keringatmu
Untuk setiap tetes tangis doamu
Untuk setiap senyum tulusmu
Untuk setiap kasih sayangmu
Ijinkan kami berkata, Aku sayang kamu.. Ibu.


.: Gege Riyadi :.

Sumber: islamedia
Untuk berita terbaru, ikuti PKS Grogol di Twitter dan Facebook



Related News

Tidak ada komentar :

Leave a Reply