Sekulerisasi Solusinya?

pksgrogol.com – Jakarta. Adakah sebuah sistem yang menjamin pasti hadirnya kesejahteraan dan ketentraman dalam masyarakat? Saat beberapa elemen umat Islam berteriak "Khilafah solusinya", kelompok sekuler mencibir. Selain mengejek utopis, kelompok sekuler juga mengungkit-ungkit konflik-konflik yang terjadi di masa kekhalifahan. Lalu bagaimana bila seorang pentolan JIL, Ulil, dalam status twitternya ia mengatakan "sekulerisasi solusinya" dalam dialog via twitter soal kasus intoleransi? Apakah negara sekuler bisa menjamin hilangnya kasus intoleransi?

Kasus Ahmadiyah, serta yang terakhir yang sedang hangat-hangatnya, kasus GKI Yasmin, dinilai sebagai kasus intoleransi umat beragama oleh beberapa pihak. Termasuk oleh Ulil, saat ia ber-kultwit pada sabtu malam, 17 Desember 2011. Ulil menyalahkan kekuatan konservatif agama yang membuat kasus-kasus intoleransi - menurutnya - marak sejak reformasi. Untuk meredam kekuatan konservatif agama ini, Ulil memberi saran: sekulerisasi solusinya.

Ulil yang berada di Partai Demokrat, partai pemenang pemilu yang tengah berkuasa di Indonesia, juga mengkritik pemerintah atas kegagalannya dalam menangani konflik-konflik agama di Indonesia. Sekedar mengingatkan, beberapa hari yang lalu Anas Urbaningrum, ketua umum Partai Demokrat, pemimpinnya Ulil dalam Partai, mengatakan bahwa orang yang menilai pemerintah gagal itu adalah orang yang "rabun politik". Hmm…

Lalu bila sekulerisasi itu dijalankan dan negara ini berubah jadi negara sekuler apakah benar-benar bisa mencegah kasus intoleransi?

Tulisan ini bukan untuk membahas apakah beberapa kejadian yang disebut Ulil itu bisa dikategorikan intolernsi atau tidak. Tapi ingin mengkritisi solusi yang diberikan oleh Ulil.

Kaum sekuler suka sekali mengungkit-ungkit konflik pada zaman kekhalifahan untuk mengambil kesimpulan gegabah bahwa khilafah itu sistem yang gagal dari sedikit contoh konflik itu. Lalu saat mereka berteriak sekulerisasi solusinya, apakah mereka ingat kasus provokasi Jyllands-Posten saat surat kabar terbitan Denmark itu memuat karikatur Nabi Muhammad saw?

Pedih mengingat ini. Pada 30 September 2005, Jyllands-Posten sebuah surat kabar yang beredar di negeri sekuler Denmark, nyata-nyata melakukan penghinaan kepada umat Islam dengan menampilkan dua belas karikatur Nabi Muhammad saw. Apakah Ulil setuju tindakan ini sebagai tindakan intoleransi umat beragama? Kalau Ulil masih waras tentu ia akan setuju bahwa ini adalah tindakan intoleran. Dan tindakan ini terjadi di sebuah negara sekuler. Sebagian karikatur itu juga diterbitkan di surat kabar Norwegia, Magazinet, pada tanggal 10 Januari 2006. Koran Jerman, Die Welt, surat kabar Perancis France Soir dan banyak surat kabar lain di Eropa dan juga surat kabar di Selandia Baru. Negara-negara itu adalah negara sekuler.

Bagaimana reaksi pemerintah sekuler, adakah tindakan yang dilakukan atas perbuatan intoleran itu? Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh Rasmussen berkata, "Pemerintah Denmark tidak akan meminta maaf karena pemerintah tidak mengontrol media atau surat kabar; itu adalah pelanggaran dari kebebasan berbicara," namun Rasmussen juga berkata bahwa ia "sangat menghormati penganut agama. Tentu saja saya tak akan pernah memilih untuk menggambarkan simbol keagamaan dengan cara tersebut." Nihil perlindungan terhadap umat beragama.

Beralih ke negara sekuler lain, Belanda. Kasus yang tak kalah terkenalnya dari karikatur Nabi di Denmark, kali ini seorang politikus Belanda bernama Geert Wilders membuat film berjudul fitna yang menciptakan kemarahan dunia Islam. Ulil pasti tahu film ini dan apakah ia setuju kalau film ini juga dikategorikan intoleransi umat beragama?

Bagaimana negara sekuler melindungi kerukunan umat beragama di negaranya dalam kasus fitna ini? Pusat pers Belanda Nieuwspoort bersedia menyiarkan film itu, selama Wilders bersedia membayar biaya keamanan yang bertambah selama konferensi pers dan minggu-minggu setelahnya. Itulah bentuk kebebasan berpendapat di negara liberal.

Dua kasus di atas memperlihatkan bagaimana negara sekuler tidak bisa mencegah terjadinya perbuatan intoleransi umat beragama. Bahkan malah bisa lebih buruk, atas nama kebebasan berpendapat penghinaan kepada agama bisa menjadi legal.

Masih banyak kasus yang bisa menjadi contoh rapuhnya pemerintahan sekuler dalam menjamin ketentraman kehidupan beragama di Indonesia. Jadi, gagasan sekulerisasi oleh Ulil bukan cuma utopis, namun pepesan kosong yang sarat kepentingan pesanan dari pihak yang memodalinya menyebarkan virus sekulerisme-pluralisme-liberalisme (sepilis) selama ini.

Ghiroh Tsaqofy

Sumber: islamedia
Untuk berita terbaru, ikuti PKS Grogol di Twitter dan Facebook

Related News

Tidak ada komentar :

Leave a Reply