pksgrogol.com – Jakarta. dakwatuna.com - Di dekat kita ada kekuatan tak terbatas, di depan kita ada kemungkinan yang tak berakhir, di sekeliling kita ada kemungkinan tak terhitung. Allah ada dalam persangkaan hambaNya. Berprasangka baik saja.
Kata-kata tersebut adalah kutipan yang saya kutip dari blog kawan karib saya, dan akhirnya, bisa kembali berkutat dengan tuts-tuts keyboard Laptop, siang ini ingin saya berbagi hal positif tentang perenungan saya kemarin. Sebenarnya perenungan ini akan saya sampaikan dalam kultum halaqah saya beberapa waktu lalu, tetapi karena tidak jadi ada kultum ya, akhirnya saya sampaikan saja di media ini, dengan segenggam harap semoga bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Semoga.
Kali ini saya akan berbicara tentang prasangka. Dzhon. Tetapi sebelumnya saya ingin berbicara tentang visi ketauhidan Rasulullah SAW. Sepertinya sudah menjadi sunnatullah bahwa siapapun yang menegakkan tauhid, akan dibenci oleh yang bertentangan visinya. Ketika kita lihat Rasulullah, luar biasa akhlaq dan tak ada cat. Bicaranya benar, janjinya selalu ditepati, gelarnya Al-Amin. Ketika mulai menyuarakan Laa ilaaha illallah, semuanya berbalik 180 derajat. Yang suka menjadi murka, kawan menjadi lawan, yang dekat menjadi jauh.
Ini persis seperti hukum Newton 1 yang pernah saya pelajari di SMA, aksi sama dengan reaksi, ketika ada aksi maka akan timbul reaksi. Begitulah adanya, ketika aksi tauhid ditegakkan, maka akan timbul reaksi. Dan siapa yang reaksinya paling kuat? Yaitu orang yang tidak bertauhid. Yang menuhankan dunia, harta, jabatan, dan kedudukan. Lalu bagaimana sikap Rasulullah? Cuma satu hal, yaitu istiqamah. Konsisten dengan apa yang disampaikannya. Tidak gentar, tidak terpengaruh oleh apapun. Karena Rasulullah menyampaikan risalah tauhid bukan supaya ditaati orang, tapi membuat orang taat pada Allah. Tapi karena prasangka dan kecintaan pada dunia, semua kesempurnaan yang ada pada diri Rasulullah seolah menghilang dari orang-orang yang menentangnya.
Maka, tentang prasangka, kita harus hati-hati padanya. Karena dalam diri orang yang berprasangka, Allah hujamkan kegelisahan di hatinya. Orang yang berprasangka menjadi buta dan tuli terhadap kenyataan. Yang dia cari bukan kebenaran, tetapi pembenaran atas prasangkanya. Makanya setelah berprasangka, orang menjadi tajassus. Mencari-cari yang bukan hak dan kewajibannya. Mengorek-ngorek hal yang bukan tanggung jawabnya di dunia dan akhirat. Setelah tajassus, berlanjut menjadi sesuatu hal yang paling dibenci Allah, paling hina dan menjijikkan, yaitu ghibah. Sesuatu yang dalam Al-Qur’an diumpamakan seperti manusia kanibal. Astaghfirullah tsuma Naudzubillah.
Berprasangka buruk akan selalu melahirkan banyak hal buruk. Gara-gara suudzhan terhadap seseorang, tertutup pintu untuk kita mengambil ilmu dan hikmah dari orang tersebut. Gara-gara suudzhan, jadi buruk hati, tajassus, ghibah, dan terhina. Makanya, suudzhan disebut sebagai seburuk-buruk perkataan. Padahal yang Allah senangi bukan suudzhan, tetapi kebenaran berdasar fakta yang ada. Semoga kita bisa melihat dan meraba hati kita, untuk senantiasa menjaga agar tidak ada prasangka-prasangka buruk terhadap saudara kita, sehingga insyaallah, makna dari ukhuwah itu benar-benar mengakar dalam hati. Mengedepankan prasangka baik, atau khusnudzan, ini sepertinya yang harus kita latih, agar diri ini bebas dari penyakit hati, bernama suudzhan. Seperti kata ustadz Salim dalam bukunya DKU, seperti itulah hakikat saudara, sebening prasangka dan sepeka nurani. Wallahu ‘alam bi showwab.
Sumber: dakwatuna
Tidak ada komentar :