Ikut Merayakan Hari Raya Agama Lain

pksgrogol.com – Jakarta. Islamedia - "Apakah ada yang bisa memberikan pencerahan baik secara dalil alquran, hadits, fatwa MUI atau apapun bagaimana sebenarnya muslim yang ikut merayakan Natal ( bukan ikut dalam ibadah Natal).
 
Ada yang mengatakan itu akan merusak aqidah, akan tetapi ada juga yang mengatakan lemah sekali imannya kalau hal seperti itu bisa merusak aqidah.
 
Iman umat Islam tak mungkin bisa keropos hanya gara-gara mengucapkan selamat Natal atau ikut dalam perayaan Natal. Iman umat Islam justru akan diperkaya dalam dialog antarbudaya dan antaragama.
 
Sebenarnya Boleh atau tidak ya ? Mohon maaf sebelumnya saya sangat membutuhkan pencerahan bukan perdebatan." (Pembaca Islamedia)
 
Jawaban:
 
Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:
 
Untuk mengetahui batasan-batasan pergaulan muslim dan non muslim, maka panduan kita adalah Al Quran dan As Sunnah, sebagai rujukan tertinggi umat Islam dan pedoman hidup bagi kaum muslimin. Bukan pemikiran untung rugi masing-masing manusia yang subjektif.
 
Perayaan Keagamaan Adalah Wilayah Aqidah Bukan Muamalah
 
Persepsi ini harus dibangun dalam pemikiran kaum muslimin,  bahwa perayaan keagamaan adalah masalah aqidah, bukan masalah muamalah (hubungan interaksi sosial), bukan pula budaya. Dalam masalah aqidah kita memiliki batasan-batasan yang jelas, yakni:
 لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
 
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al Kafirun (109): 6)
Tidak sedikit kaum muslimin yang keliru dalam menempatkan teks-teks agama. Mereka berdalih dengan ungkapan: Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ungkapan ini benar jika ditempatkan dalam hubungan sosial, seperti pinjam meminjam, hutang piutang, kerja sama dalam kebaikan sosial, dan yang semisalnya. Dalam hal ini Islam sangat membuka diri dan luwes. Bahkan dalam hukum Islam, kaum kafir dzimmi mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam dan masyarakatnya. Mereka sama sekali tidak boleh diganggu, kecuali jika mereka mengumumkan perang terhadap umat Islam.
 
Nah, mari kita lihat bagaimana Al Quran dan As Sunnah menyikapi perayaan hari besar keagamaan non muslim.
 
Kesetiaan Kaum Muslimin Hanya Kepada Allah, RasulNya, dan Kaum Muslimin
Kita lihat ada sebagian kaum muslimin yang begitu enggan dengan undangan sesama muslim, ajakan saudaranya, dan acara sesama umat Islam, seperti majelis ta’lim dalam rangka menggali ilmu-ilmu agama. Tetapi anehnya, mereka bersemangat dengan ajakan dan undangan orang kafir kepada mereka. Sungguh aneh! Mereka pun merasa bangga dengan kebersamaannya dengan orang-orang kafir tersebut. Persis seperti yang Allah Ta’ala sindir dalam Al Quran.
Allah Ta’ala berfirman:
 
“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi  wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. An Nisa (4):139)
 
Ayat lainya:        
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman yang menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan mereka orang-orang yang ruku’ (tunduk). (QS. Al Maidah (5): 55)
 
Ayat lainnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah (5) : 51)
 
Apakah makna wali ? Wali jamaknya adalah auliya’ yang berati penolong dan kekasih.[1] Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, yang mengusai (pemimpin).[2]
Maka, jelaslah bahwa umat Islam tidak dibenarkan menjadikan orang kafir sebagai penolong, kekasih, teman dekat, dan pemimpin mereka. Sebab wali kita hanyalah kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman.
 
Ikut merayakan dan menghadiri hari raya mereka merupakan salah satu bentuk keakraban dengan mereka dalam hal keagamaan. Ini semua tercela. Kita terbuai dengan perangkap syetan yang ada dibalik istilah toleransi yang tidak pada tempatnya. Ditambah lagi, khususnya Natal, mereka menyebut apa yang mereka lakukan adalah budaya, atau dialog antar budaya, bukan ritual keagamaan. Ini merupakan talbis (perangkap) dan syubhat pemikiran yang menggelayuti pemikiran mereka. Dialog antar budaya bukan dengan mengikuti acara hari besar non muslim, yang merupakan simbol utama sebuah agama. Bukan duduk bersimpuh mendengarkan ayat-ayat mereka. Bukan ikut berdiri ketika mereka berdiri dan duduk ketika mereka duduk, dan bernyanyi ketika mereka nyanyi, lalu memakan makanan ritual keagamaan mereka, bertepuk tangan menyanjung mereka, dan ikut berbahagia atas perayaan mereka. Itu bukan dialog yang diinginkan Al Quran, walau bisa jadi itulah dialog yang diinginkan ala mereka. Itu bukan  memperkaya aqidah, tetapi ittiba’ bil kuffar (mengekor kepada kaum kuffar).
 
Dialog itu adalah berdiskusi, tanya jawab, munazharah, debat yang baik, agar mereka mau menerima Islam; baik menerima menjadi agama mereka, atau menerima Islam sebagai  agama yang eksis dan mereka mau berdampingan dengan tidak saling menganggu.
 
Memperkaya aqidah adalah dengan banyak-banyak mengkaji Al Quran melalui para ahlinya, mempelajari As Sunnah, mempelajari sejarah para nabi dan orang-orang shalih, hidup bersama orang shalih dan kaum beriman, dan berbanggalah dengan itu.
 
Memperkaya aqidah bukan dengan berbasa basi dengan kekafiran dan penyimpangan mereka, bukan dengan mengikuti perayaan mereka, dan justru berbangga dengan itu, ini adalah sinkretisme yang dibaluti toleransi agama yang bukan pada tempatnya.
 
Lalu, yang terpenting adalah bahwa larangan mengikuti hari raya mereka adalah bagian dari ta’abbudi (peribadatan) yang manshush ‘alaih (disebutkan dalam nash), yang sikap kita adalah dengar dan taat.  Turun atau tidak keimanan Anda,  tetap stabil atau labil keadaan iman Anda, maka larangan tersebut tetaplah berlaku. Larangan tersebut tetap ada walau pelakunya adalah seorang yang merasa sangat shalih dan mukmin, dan mampu menjaga keimanannya.
 
Peringatan Allah Ta’ala Bagi Kaum Muslimin
Jauh-jauh hari, 15 abad yang lalu, Al Quran telah memberikan panduan bagii umatnya untuk melindungi aqidahnya, yakni untuk tidak mengikuti mereka, tidak memenuhi ajakan mereka dalam hal aqidah dan keagamaan.  Namun, entah ke mana dan di mana ayat-ayat ini  dalam sanubari umat Islam?
 
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra’ (17): 36)
“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al Baqarah (2): 109)
 
Dalam ayat lain:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (QS. An Nisa (4): 100)
 
Ayat ini dengan jelas memperingatkan umat Islam untuk tidak mengikuti perilaku orang kafir, sebab niscaya mereka akan mengembalikan orang beriman menjadi kafir setelah beriman.
Imam Ibnu Katsir mengatakan:
يحذر تعالى   عباده المؤمنين عن سلوك طَرَائق الكفار من أهل الكتاب، ويعلمهم بعداوتهم لهم في الباطن والظاهر
“Allah Ta’ala memberikan peringatan kepada hamba-hambaNya yang beriman tentang jalan dan perilaku orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan memberitahu mereka tentang permusuhan mereka terhadap kaum beriman, baik yang di hati atau yang ditampakkan.”[3]
 
Al Quran Melarang Umat Islam Mengikuti Hari Raya Orang Kafir
Dalam Al Quran, mengikuti hari raya mereka diistilahkan dengan memberikan kesaksian palsu (Az Zuur). Allah Ta’ala  telah menegaskan demikian:
 
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan (25): 72)
 
Tentang makna ayat ini,  Abu Bakar Al Khalal meriwayatkan dalam Al Jami’, dari sanadnya sendiri dari Muhammad bin Sirin, tentang makna: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu ..,  katanya: itu adalah menghadiri Sya’anin.
 
Sya’anin adalah hari raya Nasrani, mereka merayakannya dalam rangka mengenang kembali masuknya Isa Al Masih ke Baitul Maqdis.
 
Begitu pula yang disebutkan dari Mujahid, katanya: “Mengikuti hari-hari raya orang musyrik.”[4]
Begitu juga yang dikataka oleh Rabi’ bin Anas, katanya: “Mengikuti hari-hari raya orang musyrik.”
Semakna dengan ini, apa yang diriwayatkan dari Ikrimah, katanya: “(Tidak melakukan) permainan yang dahulu mereka lakukan ketika jahiliyah.”
 
Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan: “Ayat ini berbicara tentang larangan menghadiri hari raya orang-orang musyrik.”
 
Adh Dhahak juga mengatakan: “(tidak) mengikuti hari raya orang musyrik.” Sementara Amru bin Murrah mengatakan: “Mereka tidak ikut bersama kaum musyrikin dan tidak membaur bersama mereka.”  Lihat semua tafsir ini dalam kitab Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim. [5]
 
As Sunnah Telah Melarang Umat Islam Menyerupai dan Mengikuti Hari Raya Orang Kafir
Ada dua pembahasan dalam bagian ini. Pertama, larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyerupai orang kafir. Kedua, larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengikuti hara raya orang kafir. Larangan berpartisipasi dalam perayaan hari raya orang kafir sangat kuat. Jangankan ikut andil, sekadar menyerupai mereka saja tidak dibenarkan. Ini membuktikan betapa kuat agama ini dalam melindungi umatnya, dari aqidah, kebiasaan, dan perilaku orang-orang kafir.
 
Pertama, Larangan Menyerupai Orang Kafir
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
               
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.”[6]
Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini,   tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal.[7]  Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas.[8] Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.[9]  Demikian status hadits ini.
 
Oleh karena itu tidak dibenarkan menyerupai mereka dalam urusan agama, terlebih mengikuti  perayaan hari besar, yang merupakan hari utama mereka.
Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahkan mengatakan, dan ini merupakan  perkataan Imam Ahmad bin Hambal juga,  bahwa hadits ini merupakan dalil, paling sedikit kondisi penyerupaan dengan mereka merupakan perbuatan haram, dan secara zhahirnya bisa membawa pada kekufuran, sebagaimana ayat: “Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai wali, maka dia telah menjadi bagian dari mereka.” [11]
 
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
                “Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami.” [12]
Sebagaimana kata Imam At tirmidzi, Pada dasarnya hadits ini dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah seorang perawi yang terkenal kedhaifannya. Namun, hadits ini memiliki berapa syawahid (penguat), sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya.[13] Begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid yang membuatnya menjadi kuat.[14]
Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri tentang hadits ini:
لَا تَشَبَّهُوا بِهِمْ جَمِيعًا فِي جَمِيعِ أَفْعَالِهِمْ
                Janganlah kalian semua menyerupai mereka dalam segala perilaku mereka.”[15]
 
Tentu maksudnya adalah segala perilaku yang terkait dengan agama dan simbol agama mereka, baik acara keagamaan, pakaian keagamaan, dan lainnya. Namun, untuk perilaku di luar itu, yang terkait dengan kemaslahatan dunia dan kemakmuran manusia, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, strategi perang, dan semisalnya, maka Islam membolehkan mengambil manfaat dari mereka.
 
Ketika perang Ahzab yang biasa juga disebut perang Khandaq (parit), strategi yang diterapkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya adalah strategi menggali Khandaq (parit) yang merupakan cara orang Persia (Majusi), atas usul sahabat Nabi, Salman Al Farisi Radhiallahu ‘Anhu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah menggunakan baju Romawi yang sempit padahal saat itu Romawi adalah Nasrani, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi.[16]
 
Kedua, larangan Mengikuti Perayaan Hari Besar Orang Kafir      
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sudah melarang umatnya untuk mengikuti hari raya mereka. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika hari Id:
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
                “Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.”[17]
 
Maka, hari raya umat Islam adalah hari raya yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, saat itulah kaum muslimin merayakan kebahagiaan mereka, kesenangan mereka, berhibur dari, makan-makanan yang enak dan lainnya. Bukan pada hari raya agama orang lain, baik Yahudi, Nasrani, Konghucu, Budha, Hindu, dan agama lainnya.
Secara khusus, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang umat Islam mengikuti hari raya mereka.
 
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
 
“Dahulu orang jahiliyah memiliki dua hari untuk mereka bermain-main pada tiap tahunnya.” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, dia bersabda: “Dahulu Kalian memiliki dua hari yang kalian bisa bermain-main saat itu. Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya,  yakni hari Fithri dan hari Adha.”[18]
 
Al Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari mengatakan hadits ini sanadnya shahih.[19] Syaikh Al Albani juga menshahihkannya dalam  Ash Shahihah.[20]
 
Pada masa jahiliyah, kaum musyrikin memiliki dua hari, yakni Nairuz dan Mihrajan. Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim:
Dilarang (bagi umat Islam) mengadakan permainan dan berbahagia pada dua hari itu yakni Nairuz dan Mihrajan. Hadits ini juga terdapat larangan yang halus dan perintah untuk beribadah, karena kebahagiaan hakiki terdapat dalam ibadah.”
 
Lalu, disebutkan perkataan Al Muzhhir:
Ini merupakan dalil bahwa   menghormati Nairuz dan Mihrajan, dan hari raya orang-orang muysrik yang lain,  adalah terlarang.”[21]
 
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan: “Dari hadits ini disimpulkan bahwa adalah hal yang dibenci berbahagia menyambut hari raya orang musyrik dan menyerupai mereka, dan telah sampai perkataan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi dari kalangan Hanafiyah: ‘Barangsiapa yang memberikan hadiah kepada orang musyrik demi menghormati hari raya mereka, adalah perbuatan kufur kepada Allah Ta’ala.”[22]
 
Bahkan, lebih tegas lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melarang seorang muslim membantu menjual keperluan orang Islam yang ingin ikut-ikutan hari raya mereka pada  hari raya orang kafir, baik berupa makanan,  pakaian, dan lainnya, sebab itu merupakan pertolongan atas kemungkaran.[23]
 
Peringatan
 
Hari raya merupakan simbol utama dari sebuah agama. Bukan hanya simbol tapi juga waktu kebanggaan bagi masing-masing agama. Maka, perilaku mengikuti, merayakan, dan memperingati hari raya orang kafir merupakan perilaku melarutkan diri dalam sebuah simbol utama dan hari kebanggaan mereka. Maka, tidak syak (ragu) lagi keharamannya, bahkan sebagian ulama mengatakan kufur seperti yang kami sebutkan di atas. Apalagi jika seorang muslim ikut-ikutan acara ritual yang ada di pelaksanaan hari raya tersebut seperti ikut kebaktian, ikut melagukan lagu puji-pujian mereka, ikut ke klenteng atau tepekong untuk sembahyang, dan semisalnya. Hal ini jika dilakukan karena kesadaran, tidak dipaksa, dan sudah disampaikan dalil kepada mereka, tetapi mereka masih membandel ikut-ikutan juga, maka  ini kufur menurut ijma’ ulama. Tetapi, jika dilakukan karena kebodohannya, atau terpaksa dan dipaksa, dan belum disampaikan dalil kepada mereka, maka belum dikategorikan kafir.
 
Ada pun orang Islam yang menjadi penggembira, yang ikut-ikutan berbahagia menyambutnya walau tidak ikut langsung dengan perayaannya, maka ini pun terlarang bahkan haram sebagaimana dijelaskan oleh para ulama di atas.
 
Berikut ini fatwa Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah tentang sekedar mengucapkan selamat hari raya agama lain –yang sebenarnya lebih ringan dibanding ikut merayakannya:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه
 
“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll. pen) adalah  hal  yang diharamkan berdasarkan  kesepakatan  kaum muslimin.  Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya.  Jika memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun  itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai   Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. 
 
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia  layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, Hal. 162. Cet. 2. 2002M-1423H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
 
Demikianlah penjelasan Al Quran, As Sunnah, dan keterangan para Imam kaum muslimin. Semoga bermanfaat bagi yang menginginkan kebaikan bagi agama dan dunianya. 
Wallahu A’lam
Farid Nu'man Hasan

Sumber: dakwatuna
Untuk berita terbaru, ikuti PKS Grogol di Twitter dan Facebook

[1] Imam Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan, Juz. 9, Hal. 319. Muasasah Ar Risalah
[2] Ahmad Warson Al Munawwir, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582
                       
[3] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 1, Hal. 382. Darut Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’
[4] Agama Konghucu dengan hari besar mereka, Cap Gho Meh, termasuk kaum musyrikin yang hari raya besar mereka harus dijauhi.
[5] Imam Ibnu Taimiyah, Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 381.
[6] HR. Abu Daud No. 4031
[7] Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215
[8] Imam Ismail bin Muhamamd Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, Juz. 2, Hal. 240. Darul Kutub Al ‘Ilmiah
[9] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 11, Hal. 52. Cet. 2, 1415H.  Darul Kutub Al ‘Ilmiah
[10] Ibid
[11] Ibid. Lihat juga Imam Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 214
[12] HR. At Tirmidzi No. 2695
[13] Lihat dalam Silsilah Ash Shahihah, Juz. 5, Hal. 193, No. 2194. Shahih At Targhib wat Tarhib, Juz. 3, Hal. 23, No. 2723.  Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 195. Shahihul Jami’ No. 5434
[14] Raudhatul Muhadditsin, 10, Hal. 332, No. 4757
[15] Syaikh Abul ‘Ala  Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 6, Hal. 496
[16] HR. At Tirmidzi No. 1768,   Katanya: hasan shahih
[17] HR. Bukhari No. 952
[18] HR.  An Nasa’i No. 1556, lihat juga As sunan Al Kubra  No. 1755
[19] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 3, Hal. 371.  Dalam kitabnya yang lain, yakni Bulughul Maram juga disebutkan demikian.
[20] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,  As Silsilah Ash Shahihah No. 2021
[21] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Juz. 3, Hal. 88
[22] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 3, Hal. 371
[23] Imam Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 462

Related News

Tidak ada komentar :

Leave a Reply