pksgrogol.com – Jakarta. dakwatuna.com - Saya memiliki seorang teman. Baru kenal beberapa tahun. Tapi sudah sangat akrab. Namanya Putra. Sejak duduk di bangku SMA, memang sudah nampak jiwa leadershipnya. Apalagi ditambah hobinya yang suka naik gunung, makin menambah kewibawaannya di mata teman-teman sebayanya. Sejak kelas satu SMA, Putra sudah mulai tertarik belajar keislaman. Awalnya dia suka belajar tentang Islam, tapi dia masih enggan untuk ikut dalam aktivitas keislaman bersama teman-teman ROHISnya.
“Ane risih Be, ngliatin anak-anak ROHIS yang sok sibuk sama seabrek kegiatan mereka” ungkapnya mengenang.
“Kalo ane sendiri, tipikal orangnya nyantai, ndak suka hal-hal yang serius” lanjutnya sambil tersenyum.
Menginjak kelas dua, cara pandangnya mulai berubah. Dia mulai tertarik untuk ikut terlibat aktif dalam kegiatan keislaman, bersama anak-anak ROHIS lainnya. Pemimpin tetaplah pemimpin, ditaruh dimana saja, kalau memang sudah berjiwa pemimpin, pasti juga akan menjadi pemimpin. Dalam waktu singkat, Putra sudah menjadi salah satu decision maker (pembuat keputusan) di antara teman-teman satu organisasinya, walaupun jabatan resminya tidak menjadi Ketua. Karenanya, sejak kelas tiga SMA, Putra sudah diminta untuk membina mentoring adik-adik kelas satu SMAnya.
***
Waktu berjalan, ketika seleksi masuk PTN, Putra diterima di salah satu PTN terbaik di Indonesia. Ketika mahasiswa, semangat berdakwahnya semakin menyala. Putra memiliki binaan mentoring beberapa kelompok, yang terdiri dari anak-anak SMA dan alumni SMA. Tahun berganti tahun, jumlah binaan mentoringnya makin lama makin banyak. Hingga adik-adik binaan mentoringnya punya binaan mentoring juga ke bawah. Terus seperti itu. Hingga sampai beberapa tingkat, mirip MLM. Istiqamah Putra terus membina, hingga menjadi salah satu tokoh yang disegani oleh para ADS (Aktivis Dakwah Sekolah) – yakni sebutan bagi alumni SMA yang membina juniornya di tempat dimana dia sekolah dulu–
Waktu berjalan, lima tahun Putra kuliah, akhirnya lulus sebagai sarjana. Di tahun yang sama dengan kelulusannya, Putra diterima sebagai PNS di salah satu kementerian. Walau telah disibukkan dengan dunia pekerjaan yang sibuk, semangat Putra untuk membina tidak surut, bahkan makin bersemangat lagi. Istiqamah Putra terus membina.
Di tahun 2009 akhir, tepatnya setelah resepsi pernikahan saya, sudah ada keinginan Putra untuk pencari pendamping hidup. Sebagai fitrah manusia, Putra juga berkeinginan mencari teman hidup untuk berbagi. Akhirnya, Putra memberanikan diri untuk menyampaikan ke guru ngajinya tentang keinginannya itu. Guru ngajinya pun menyanggupi dan berpesan kepada Putra untuk bersabar, seperti lazimnya pesan guru ngaji yang lain juga, termasuk guru ngaji saya dulu :) . Bersabar dan berharap kepada Allah, semoga diberikan bidadari dunia, istri yang shalihah. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, Putra terus menunggu guru ngajinya menyodorkan nama sebagai kandidat istrinya. Bagi laki-laki yang memang belum berkeinginan kuat menikah, menunggu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun mah tidak jadi soal. Tapi bagi laki-laki yang sudah berkeinginan kuat untuk menikah, menunggu berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan adalah sesuatu yang sangat menggelisahkan. Di waktu-waktu seperti ini, syetan biasanya terus menggoda dan berbisik, “Jangan-jangan guru ngajimu tidak serius mencarikan. Atau malah jangan-jangan guru ngajimu memang tidak mencarikan. Guru ngaji memang tidak bisa dipercaya.”
“Sering muncul prasangka-prasangka seperti itu Be, tapi Alhamdulillah ane bisa menepisnya” ungkap Putra kepada saya.
Makin lama Putra menunggu, makin dekat Putra dengan Allah. Momentum Ramadhan di akhir tahun 2010, Putra jadikan sebagai muhasabah dan introspeksi diri, dan disempurnakan dengan I’tikaf di 10 malam terakhir Ramadhan. Dan yang paling penting, Putra tidak menjadikan penantian itu untuk malas membina. Istiqamah Putra terus membina
***
Waktu setelah Isya’, tepatnya saat Indonesia kalah 6-1 melawan Uni Emirat Arab, berdering telepon Putra, ada panggilan masuk dari guru ngajinya.
“Putra, ini ada biodata akhwat. Insya Allah shalihah. Sesuai kriteria Antum, dia punya adik binaan. Tapi umurnya tiga tahun lebih tua dari Antum dan dia berasal dari Sulawesi. Gimana menurut Antum? ” kata Guru ngajinya mencoba menjelaskan
“Kalo menurut Antum gimana Pak?” tanya Putra balik disertai rasa penasaran.
“Insya Allah cocok buat Antum” jawab guru ngajinya meyakinkan.
“Kalo menurut Antum cocok, Insya Allah ane terima Pak” jawab Putra mantab.
“Ok, besok pagi, cek email ya” lanjut gurunya sembari mengakhiri pembicaraan.
Sudah berkecamuk pikiran Putra, bagaimana tanggapan orang tuanya. Orang tua Putra mensyaratkan kepada Putra empat kriteria calon istri yang harus dipenuhi. Pertama, umurnya tidak beda jauh. Kalau bisa lebih muda. Kedua, tempat tinggalnya dekat. Ketiga, bukan anak pertama. Dan keempat, harus berpendidikan. Putra menjelaskan panjang lebar kepada saya kenapa orang tuanya memiliki syarat-syarat seperti itu. Saya dan Putra bisa memaklumi hal tersebut. Karena beliau berdua, orang tua Putra punya rasionalitasnya sendiri yang memang harus kami hargai. Beliau berdua sudah berpuluh tahun hidup berumah tangga dan memiliki banyak pengalaman mengenai hidup berumah tangga.
Dari dua hal yang disebutkan guru ngajinya tentang calon istrinya, sudah dua point yang tidak sesuai kriteria, sedang dua hal lain yaitu terkait anak pertama dan berpendidikan belum Putra ketahui. Tapi Putra berkeyakinan, selama niatan nikahnya karena Allah, Allah pasti memberikan kemudahan. Esok paginya, Putra memberanikan diri untuk membuka email dari guru ngajinya dan mulai dibacalah baris per baris biodata calon istrinya. Semakin lama Putra membaca, semakin Putra mulai makin gusar. Apa sebab?
Biodata itu ternyata ditulis oleh guru ngaji calon istri Putra, bukan oleh calon istri Putra sendiri. Disebutkan di dalam biodata, calon istrinya itu sedang menyelesaikan studi master, berasal dari salah satu marga paling terpandang dari empat marga paling berpengaruh di Sulawesi, bapaknya seorang direktur bank dan kakaknya seorang master serta adiknya seorang dokter. Segera Putra menelpon guru ngajinya.
“Pak, ini bener biodatanya. Ini mah mirip skor Indonesia melawan Uni Emirat Arab 6 – 1 . Ane kalah dalam segala hal dengan dia” kata Putra gusar.
“Tenang akh, keluarganya hanya mensyaratkan calon suami seorang lelaki yang shalih. Itu saja. Dan Antum punya kriteria itu” jawab guru ngajinya menenangkan.
“Emm.. dan Antum menang dalam satu hal lagi,” lanjut guru ngajinya.
“Apa itu pak?” tanya Putra penasaran.
“Jumlah adik-adik binaan Antum lebih banyak dikit dari dia, haha..” jawab guru ngajinya dilanjut tertawa lepas.
“Bisa aja Antum pak” jawab putra disertai senyum.
“Jadi bagaimana, Antum siap ke proses selanjutnya?” tanya gurunya melanjutkan pembicaraan.
“Emm..ok, Pak. Kalau menurut Antum ane cocok dengan dia. Insya Allah ane siap ke proses selanjutnya” jawab Putra mantab.
***
Bulan Januari 2012, saya mendapat kabar gembira itu. Akhirnya, Putra menikah dengan calon pilihan guru ngajinya. Sepasang insan yang menikah, bukan karena sebab harta, bukan pula sebab kecantikan dan ketampanan. Tapi semata-mata menikah karena Allah. Mereka bersatu, untuk saling menguatkan. Menguatkan untuk senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah. Dan memang itulah yang terjadi, mereka berdua berkelindan, bahu membahu, istiqamah mereka terus membina.
Semoga Allah selalu mencurahkan keberkahan untuk keluargamu Putra. Darimu saya banyak belajar, tentang arti sebuah keistiqamahan.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaaf : 13-14)
Sumber: dakwatuna
Tidak ada komentar :