pksgrogol.com – Jakarta. dakwatuna.com - Allah SWT berfirman:
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن
نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا
أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ ﴿٨٧﴾
“Dan
(ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah,
lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya
(menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa
tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, Sesungguhnya Aku
termasuk orang-orang yang zhalim.”” (QS.
al-Anbiya’ [21]: 87)Dan firman-Nya:
فَمَن
جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢٧٥﴾
“Maka barangsiapa yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS.
al-Baqarah [2]: 275)Hemat penulis, kedua ayat ini dapat menjadi obor penerang terhadap mereka yang terjerumus di dunia gelap; dunia yang mengenal kemaksiatan dan kezhaliman.
Kata (الظُّلُمَات) di ayat pertama yang berarti kegelapan, datang dalam bentuk jamak (plural noun). Para pakar tafsir terkemuka, seperti az-Zamakhsyari, al-Baidhawi, dan Abi as-Suud al-Imadi, di saat menyuguhkan penafsiran terhadap kata tersebut mereka berkata:
“Jika ada yang menanyakan tentang kedatangan kata (الظُّلُمَات) dalam bentuk jamak, sementara objek pemberitaan adalah kisah Nabi Yunus yang tengah berada di dalam perut ikan besar, maka kami menjawab: “(الظُّلُمَات) datang dalam bentuk plural karena Nabi Yunus di saat memohon doa keselamatan, ia diliputi tiga bentuk kegelapan: kegelapan perut ikan besar, kegelapan dasar laut, dan kegelapan malam.””[[1]]
Tentunya, ini mengilustrasikan kehidupan orang-orang yang terjerumus di dunia hitam yang dihantui dengan pelbagai kegelapan. Cara berpikir mereka telah gelap, buntu, dan tidak dapat lagi melihat secercah harapan. Jalan hidup yang mereka jalani dianggap sebagai takdir ilahi. Padahal, takdir itu sendiri digariskan oleh Allah SWT sesuai dengan usaha dan pilihan setiap manusia. Bukan hanya itu, mereka juga sering kali menganggap apa yang sedang dilakukan sekarang itulah yang terbaik, meski kata hati mereka membisikkan ketidakrelaan dan kebosanan dari apa yang terjadi, ia dengan halusnya berkata: “Wahai diriku! Apakah ini yang terbaik bagimu, atau di sana ada yang lebih baik lagi? Hemat saya, masih ada yang lebih baik dari ini, kehidupan yang jauh dari huru-hara, kehidupan yang memberikan rasa aman; Anda aman, orang lain pun aman. Bukankah engkau, wahai diriku seringkali menyesal setiap kali melakukan kejahatan? Coba pikirkan kembali jalan hidup itu!”
Di lain sisi, hati mereka juga telah gelap. Kejahatan yang bertumpuk menjadikan hati sulit melihat terangnya kebenaran, meski ia lebih terang dari sinar matahari itu sendiri. Hati yang tidak pernah dibersihkan, seperti papan tulis yang tidak pernah dihapus, tidak ada tempat untuk menulis jika ia tidak dihapus sebelumnya. Demikian halnya dengan hati. Jika ia tidak dibersihkan, maka sulit baginya menerima sorotan cahaya kebenaran yang datang dari gema syariat Islam yang menyerukan kebaikan.
Makna di atas tersirat dalam hadits Nabi Saw berikut ini:
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي
قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صَقُلَ مِنْهَا قَلْبُهُ،
وَإِنَّ زَادَ زَادَتْ حَتَّى يُغَلَّفَ بِهَا قَلْبُه.ُ
Artinya:“Sesungguhnya orang beriman jika melakukan suatu dosa, maka itu terhitung sebagai noda hitam di hatinya. Akan tetapi, jika ia bertaubat dari dosa itu, berpaling darinya, dan beristighfar, maka hatinya pun bersih dari noda itu. Dan jika ia menambah dosanya, maka bertambah pula noda hitam tersebut, sehingga hatinya terbalut dengannya.”[[2]]
Maka dari itu, sejak awal Al-Qur’an menyuguhkan jalan keluar bagi mereka yang tersesat dalam meniti kehidupan dengan menyuarakan ayat pertama tersebut. Ia memberitahu bahwa jalan keluar dimulai dari pengakuan diri terhadap dosa yang telah diperbuat, dan berjanji untuk kembali ke jalan hidup yang benar dengan melantunkan kalimat tauhid (لا إِلَهَ إِلا أَنْت), dan tasbih (سُبْحَانَك).
Hasan al-Basri berkata: “Demi Allah! Ia (Nabi Yunus) tidak selamat, Kecuali ia telah mengikrarkan bahwa dirinya telah melakukan kezhaliman.”[[3]]
Jika kezhaliman Nabi Yunus hanya karena marah terhadap pembangkangan kaumnya, sehingga ia keluar meninggalkan mereka tanpa izin dari Allah SWT, maka bagaimana jika sekiranya seseorang melakukan dosa besar dengan penuh keangkuhan dan kesombongan? Bukankah itu kezhaliman di atas kezhaliman? Jika Nabi Yunus dengan kezhaliman seperti itu, ia tetap mengharap pengampunan Allah SWT, maka kita sebagai manusia biasa yang tidak luput dari dosa, lebih patut dan wajib mengharap pengampunan-Nya sembari berkata: (لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ، سُبْحَانَكَ، إِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْن).
Nabi Saw bersabda:
دَعْوَةُ
ذِي النُّونِ الَّتِي دَعَا بِهَا فِي بَطْنِ الْحُوتِ، لا إِلَهَ إِلا
أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ، لَمْ يَدْعُ بِهَا
مُسْلِمٌ فِي كُرْبَةٍ إِلا اسْتَجَابَ اللهُ لَهُ.
Artinya:“Doa Zin nun (Nabi Yunus) yang dipanjatkannya di dalam perut ikan, yaitu لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ, jika ia dipanjatkan oleh orang muslim dari sebuah kesulitan, maka Allah SWT akan mengabulkannya.”[[4]]
Jika ada yang bertanya: “sebab yang melatarbelakangi doa ini terpanjatkan karena adanya kesulitan atau kemalangan yang menimpa, sementara dosa itu bukan kesulitan atau kemalangan. Bagaimana Anda dengan beraninya menganjurkan mereka yang tersesat untuk memanjatkan doa ini sebagai langkah awal meniti kebenaran?”
Kepada Anda hadits di atas menjawab: “yang aku siratkan dan maksudkan adalah keurgensian doa ini sebagai langkah awal menuju ke jalan yang benar. Bukankah orang yang terjerumus di lembah kemaksiatan dililit oleh seribu satu kemalangan dan kesulitan? Mereka lebih patut mengucapkan kalimat tersebut dari orang lain yang hanya merasakan kemalangan tertentu dari sebuah peristiwa, seperti: sakit, kehilangan harta, tertimpa banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan lain-lain. Kemalangan di sini (كُرْبَة) bukan hanya berarti musibah seperti di atas, tetapi ia juga berarti ketidakjelasan meniti hidup yang lebih baik akibat terjerumus di dunia hitam. Bahkan, ini adalah super musibah, melebihi dahsyat dan ganasnya musibah pertama.”
Di ayat lain, yaitu ayat kedua, meski ia turun menggambarkan kehidupan masyarakat jahiliah yang gemar mempraktekkan riba jahiliah,[[5]] tetapi ayat ini menyiratkan langkah kedua yang patut diambil guna meninggalkan dunia kejahatan dan dosa. Langkah tersebut tidak lain kecuali menarik diri dari lembah hitam tersebut, membuka lembaran baru dari sejarah yang penuh dengan catatan hitam.
Ayat ini seperti rambu lalu lintas yang memerintahkan Anda untuk berhenti, ia berkata: “stop, jangan pernah berpikir dan berkeinginan untuk kembali melakukan hal yang sama! Jika Anda berhenti dan bertaubat, maka segala-galanya kembali kepada Allah SWT, dan Insya Allah, Dia akan mengampunimu. Bukankah Dia yang Maha Pengampun dan Pemurah? Akan tetapi, jika Anda kembali lagi, takutnya, Anda tidak punya kesempatan lain lagi untuk berhenti dan bertaubat, sehingga dengan sendirinya Anda termasuk penghuni neraka. Jangan pernah kembali lagi ke sana! Di depan Anda terdapat jalan hidup yang terang benderang.”
Di penghujung tulisan singkat ini, tentunya, para pemerhati tema-tema keislaman dengan mudahnya menyimpulkan apa yang tertera di atas sebagaimana berikut:
“Islam tidak pernah berdiam diri melihat Anda terjerumus di lembah kemaksiatan, sehingga jalan hidup Anda gelap gulita; pikiran dan hati buntu, galau, dan tidak terarah. Olehnya itu, sejak dini Islam menyuguhkan kepada Anda dua langkah positif dalam hal ini: pertama: pengakuan diri terhadap dosa yang telah dilakukan, dan berjanji untuk kembali ke jalan hidup yang benar dengan melantunkan kalimat tauhid (لا إِلَهَ إِلا أَنْت), dan tasbih (سُبْحَانَك) sebagai langkah awal mengharap pengampunan-Nya. Kedua: Meninggalkan dunia kejahatan, dan tidak pernah lagi kembali menengoknya.”
Catatan Kaki:
[[1]] Lihat: az-Zamakhsyari, al-Kassyâf, vol. 4, hlm. 162, al-Qadhi al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzil, vol. 6, hlm. 66, dan Abi as-Suûd, Tafsir abi as-suûd, vol. 4, hlm. 354
[[2]] Hadits ini dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi, dari Abu Huraira r.a, dan Beliau berkata: “Hadits ini hasanun shahih,” dan juga dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi. [Lihat: at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, kitab at-Tafsir, bab wa min surah wailon lilmutaffifin, no. hadits 3334, hlm. 756, dan al-Baihaqi, Syuabul Iman, no. hadits: 6808, vol. 9, hlm. 373]
[[3]] Lihat: az-Zamakhsyari, al-Kassyâf, vol. 4, hlm. 162
[[4]] Hadits ini dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Sa’ad bin Abi Waqqash. [Lihat: Sunan at-Tirmidzi, kitab ad-daawât, bab Fadl at-Tasbih wa at-Tadzkir, no. hadits: 3503, hlm. 795-796]
[[5]] Riba ini lebih dikenal dengan riba nasiah, yaitu pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Contohnya seperti ini: si A meminjam uang di B yang pelunasannya telah disepakati pada waktu tertentu. Jika pelunasan utang tersebut telah jatuh tempo, dan si B tidak dapat melunasinya, maka si A berkata kepadanya: “sekarang anda punya dua pilihan; apakah anda melunasinya saat ini juga, atau anda ingin menangguhkan pelunasannya di waktu lain, tetapi anda wajib mengembalikannya lebih dari uang yang telah anda pinjam.” [Lihat: Muhammad bin Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, vol. 3, hlm. 79]
Tidak ada komentar :