Posted by :
pks
/ on :
Kamis, 29 September 2011
pksgrogol.com – Jakarta. dakwatuna.com - Sering kali kita mengucapkan
subhanallah[1]tanpa
menyadari kedalaman maknanya. Ia terucapkan secara spontanitas jika ada
sesuatu yang mengagumkan, atau kejadian yang tidak sesuai dengan selera
fitrah.
“Apakah ada di antara kalian yang pernah
memikirkan rahasia سبحان الله yang
diucapkan sebanyak 33 kali setelah mengerjakan shalat lima waktu?”
Dalam
menjawab ini, saya mengajak pemerhati masalah-masalah keislaman untuk
merenungi beberapa makna sebagai berikut:
Setiap hari manusia
berpotensi melakukan sesuatu yang menyalahi kesucian zat yang Maha Suci.
Potensi itu berawal dari pikiran; manusia dalam memikirkan apa yang
akan dikerjakan hari ini, esok, dan masa mendatang, pikiran mereka
berpeluang untuk ternodai dengan pikiran-pikiran kotor. Dengan menyebut
سبحان الله pikiran menjadi segar, sehat,
dan kembali kepada kesadaran semula.
Manusia di saat mulai
melakukan apa yang telah direncanakan, maka ia pun berpeluang melakukan
sesuatu yang tidak layak untuk dikerjakan. Satu perencanaan yang baik
senantiasa diliputi keinginan-keinginan kotor yang senantiasa mengajak
manusia kepada penyimpangan dengan seribu satu rayuan manis yang
mengelabui. Dengan menyebut
سبحان الله rel
kehidupan terjaga untuk tidak menyimpang dari petunjuk Islam, terpatri
dalam jiwa untuk melaksanakan setiap perencanaan baik, meskipun di sana
ada jutaan rintangan yang menghalang.
Setelah menuai hasil kerja
dan mulai memikirkan arah dan tempat dimana hasil tersebut disalurkan
dan dinafkahkan, ia pun berpeluang ternodai keburukan. Dengan
melantunkan
سبحان الله berkah jerih upaya
terjaga untuk tidak ternodai dengan segala bentuk kemaksiatan. Di sana
masih banyak tempat untuk menyalurkan hasil kerja, seperti: keluarga,
fakir-miskin, dan tempat-tempat ibadah. Olehnya itu, sangat wajar jika
Islam bertanya kepada Anda dan berkata:
“Apa yang membuat Anda
berpikir terlalu jauh? Kenapa Anda menafkahkan harta di tempat-tempat
kemaksiatan, sementara tempat kebaikan senantiasa menunggu Anda untuk
dikunjungi dan disapa?”
Berkumpul dengan keluarga menikmati
jerih payah adalah keinginan setiap kepala rumah tangga, tetapi
kenikmatan tersebut kadang ternodai oleh kelalaian. Keinginan kuat
menyantap hidangan yang lezat, minuman yang menyegarkan tenggorokan,
menatap haru setiap wajah anggota keluarga yang memancarkan keridhaan
dan kegirangan dari hasil kerja, semua itu dapat menjadi sarana setan
yang membuat kita lupa menyebut
basmalah dan
hamdalah setiap
kali mencicipi kenikmatan tersebut. Dengan lantunan
سبحان الله setiap dari mereka sadar dari
kelalaian, dan jamuan keluarga pun terjaga dari sentuhan jari jemari
setan yang kotor.
Membaringkan badan di tempat peraduan bersama
dengan istri dan anak-anak setelah seharian bekerja dambaan setiap
bapak, tetapi dambaan tersebut kerap kali ternodai oleh kelalaian.
Mereka berpeluang mendatangi keluarga dalam keadaan lupa membaca
basmalah
dan doa. Dengan
سبحان الله
keharmonisan keluarga terjaga dari segala bentuk campur tangan setan.
Setiap
detik niat jelek berpeluang meracuni pikiran dan keyakinan. Olehnya
itu,
سبحان الله menjadi proteksi ampuh
terhadap hati untuk tidak teracuni dari kebusukan tipu muslihat setan
yang berupaya mengotori niat.
Di lain sisi, permukaan dunia
senantiasa ternodai oleh kemaksiatan manusia, di sana ada pelanggaran
hak asasi, penodaan harga diri, pencitraan yang lahir dari kebohongan
belaka. Dengan
سبحان الله seorang
hamba telah menyucikan zat yang Maha Suci dari kemaksiatan tersebut,
meski dia tidak tahu kapan dan dimana kemaksiatan tersebut terjadi.
سبحان الله memberikan keyakinan kuat
terhadap diri bahwa Allah berhak mendapatkan penyucian dari segala
bentuk kotoran tersebut, meski Dia telah suci. Akan tetapi fitrah
kehambaan menghendaki manusia melantunkan penyucian, karena mereka tidak
tercipta untuk melakukan sesuatu yang menyalahi fitrah penciptaan dan
nilai-nilai agama.
سبحان الله kalimat
penyucian yang dilantunkan semua entitas kehidupan guna menyucikan
Allah SWT dari segala kekurangan yang datang dari mereka sendiri.
Mari
kita melihat lebih dekat kedalaman makna
سبحان
الله di dalam Al-Qur’an:
Di peristiwa Isra’ dan
Mi’raj, Al-Qur’an membuka pemberitaan peristiwa yang luar biasa itu
dengan kata penyucian:
“Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid Haram ke Masjid
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”(QS.
al-Isra’ [17]: 1)
Jika Anda bertanya:
“Kenapa pemberitaan
peristiwa ini didahului dengan kata penyucian?”
Al-Qur’an
menjawab:
“sebuah peristiwa besar pasti mengundang tanda
tanya, khususnya jika kejadian itu hanya sekali terjadi sepanjang
umur dunia, peristiwa yang punya keajaiban di luar dari perhitungan
matematis. Sadar akan hal ini, Al-Qur’an memulai pemberitaan itu dengan
penyucian, karena pada hari itu juga orang-orang kafir menolak kebenaran
peristiwa ini, bahkan sampai pada hari ini masih ada dari mereka yang
enggan mengikrarkan kebenarannya, telinga dan hati mereka terasa teriris
sembilu jika mendengarkan sepatah kata dari cerita peristiwa tersebut.”
Dengan
سبحان الله kita seperti para sahabat yang
senantiasa menyucikan diri dari para pembangkang yang menolak kebenaran
peristiwa agung ini. Apa lagi yang Anda tunggu untuk tidak melantunkan
سبحان الله ?
Di
kesempatan lain, Nabi Isa AS terlebih dahulu menyucikan Allah SWT
sebelum menjawab pertanyaan ini:
“Dan (ingatlah)
ketika Allah berfirman: Wahai Isa putra Maryam! Apakah engkau yang
mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku
Tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha
Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku.
Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada
pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui segala perkara gaib.””
(QS. al-Maidah [5]: 116)
Jika ada yang bertanya:
“jawaban
Nabi Isa AS: “Maha Suci Engkau.” Kenapa dia tidak
mengatakan: “Maha Suci aku dari pertanyaan itu,”
sementara objek yang dipertanyakan adalah pemilik perkataan tersebut?”
Kepada
penanya saya akan memberikan dua buah jawaban sebagaimana berikut:
Pertama:
Tidak patut seorang hamba menyucikan diri, karena penyucian diri dengan
tidak menyucikannya,
[2]
apalagi menyucikan diri di hadapan zat yang Maha Suci. Sadar akan hal
itu, Nabi Isa AS langsung memberikan penyucian kepada Allah SWT sebelum
ia menempatkan dirinya di tempat yang layak selaku hamba, sehingga
jawabannya tidak menyalahi fitrah kehambaan.
Kedua: yang
membutuhkan penyucian dari wacana distorsif ini:
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: Wahai Isa putra Maryam! Apakah engkau
yang mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan
ibuku Tuhan selain Allah?” adalah Allah SWT, sehingga Nabi
Isa AS dengan sendirinya mengucapkan
سبحان الله,
meski ia tahu bahwa pertanyaan Allah SWT tersebut bukan lahir dari
ketidaktahuan terhadap siapa pemilik wacana ini, tetapi pertanyaan itu
mengandung makna celaan dan cemooh terhadap siapa saja yang pernah
mengucapkan kalimat tersebut.
[3]
Tentunya,
dengan mengucapkan
subhanallah kita seperti Nabi Isa AS yang
sedang menyucikan Allah SWT dari wacana distorsif tersebut. Apa lagi
yang menyita perhatian Anda sehingga lupa menyebut
سبحان الله
?
Di kejadian serupa, orang-orang beriman juga menyebut
سبحان الله setelah melihat dan memikirkan
keindahan dan kesempurnaan penciptaan alam semesta. Ini diberitakan
dalam ayat Surah Ali Imran:
“Orang-orang yang
mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.”
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
(QS. Ali Imran [3]: 191)
Al-Qur’an telah tahu bahwa akan datang
sekelompok manusia yang melihat penciptaan alam semesta beserta isinya
sia-sia belaka. Sementara itu, orang-orang beriman memberikan penilaian
yang sama terhadap semua entitas kehidupan, karena apa yang ada pada
diri seekor nyamuk, itu juga yang ada pada diri manusia. Semua
melukiskan keindahan dan keagungan Sang Maha Pencipta. Olehnya itu,
semua objek kehidupan mendapatkan penghargaan yang sama di mata mereka,
karena semuanya adalah ayat-ayat Allah SWT.
Dengan menyebut
سبحان الله kita seperti mereka yang telah
menyucikan Allah SWT dari wacana kotor tersebut. Apa lagi yang
memalingkan Anda untuk tidak ikut serta dengan mereka mengumandangkan
سبحان الله ?
Di alam malaikat,
mereka pun tidak ketinggalan menyucikan Allah SWT dari ketidakmampuan
mereka menyebut nama benda-benda yang telah disebutkan Nabi Adam AS. Ini
digambarkan dengan jelas di ayat surah al-Baqarah:
“Dan
Dia mengajarkan kepada Adam semua nama-nama benda secara keseluruhan,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat dan berfirman: “Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu tergolong orang-orang yang
benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”” (QS. al-Baqarah [2]: 31-31)
Al-Qur’an
tahu bahwa akan datang sekelompok manusia yang menyombongkan ilmu
pengetahuan mereka, sementara pengetahuan itu datang dari Sang Maha
Mengetahui. Olehnya itu, tidak ada yang patut disombongkan. Bukankah
dalam mengingat kebutuhan sehari-hari manusia kadang lupa? Jika Anda
lupa, kenapa Anda tidak menyadari bahwa itu merupakan salah satu tanda
kekurangan, jika Anda merasa tidak sempurna, kenapa Anda tidak menyadari
bahwa di sana ada zat yang Maha Sempurna, Mengetahui segala sesuatu,
sumber dari segala pengetahuan? Sementara itu, apa yang Anda tidak tahu,
jumlahnya jauh lebih banyak dari apa yang Anda tahu sekarang.
Dengan
menyebut
سبحان الله kita seperti
malaikat yang sedang menyucikan Allah SWT dengan mengembalikan semua
pengetahuan kepada-Nya. Apalagi yang Anda tunggu untuk tidak mencontoh
malaikat yang telah melakukan penyucian?
Makna penyucian Zat yang
Maha Suci di kalimat
سبحان الله tidak
dibatasi ruang waktu. Ia memberi potensi yang cukup besar terhadap
hamba untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena dengan
menyebutnya ia seperti menyucikan Allah SWT dari segala bentuk wacana
distorsif di pelbagai waktu, baik yang telah lalu atau pun di masa
mendatang. Apa lagi yang Anda tunggu untuk tidak mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan menyebut
سبحان الله? سبحان الله ucapan para penghuni surga:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٠﴾
“Doa mereka di
dalamnya adalah: “Subhanakallahumma,”
dan salam penghormatan mereka adalah: “Salam”,
dan penutup doa mereka adalah: “Alhamdulilaahi Rabbil
Alamin”” (QS. Yunus [10]: 10)
Maka
dari itu, dzikir ini terlebih dahulu disebutkan sebelum menyebut dzikir
lain. Seseorang menyalahi adab dzikir jika ia terlebih dahulu menyebut
hamdalah,
karena pujian datang setelah penyucian. Urutan ini sesuai dengan gaya
pembahasan Al-Qur’an di pelbagai tempat, ia terlebih dahulu menyebutkan
apa saja yang wajib dijauhi, karena di dalamnya ada unsur penyucian
diri. Dan tentunya, jika yang haram telah dijauhi, maka dengan
sendirinya apa yang wajib dipatuhi ikut terlaksana.
Di penghujung
tulisan ini, saya mengajak para pemerhati tema-tema keislaman untuk
merenungi apa yang tertera di bawah ini:
“سبحان الله kalimat yang singkat, tetapi kaya
dengan makna. Penyucian Zat yang Maha Suci yang tidak terbatas oleh
ruang waktu. Dengan menyebut سبحان الله
Anda ibarat mereka yang telah dan sedang menyucikan Allah SWT
di pelbagai tempat dan waktu dari wacana distorsif dan kemaksiatan
tangan-tangan jahil. Dengan سبحان الله
Anda seperti bersama dengan orang-orang shalih yang sedang
berada di taman suci, yang terlindung dari polusi kejahatan dan
kejahilan umat, di sana Anda dan yang lain mengetengahkan majelis dzikir
yang menyuarakan سبحان الله
sebagai pertanda kehambaan yang penuh dengan kekurangan. Olehnya itu
dekatkan diri Anda dengan سبحان الله.
Apa lagi yang Anda tunggu untuk tidak ikut serta melantunkan سبحان الله?”
Catatan Kaki:
[1] Syekh
Abu Suûd al-Imâdî berkata:
“سبحان menunjukkan
tingkat penyucian yang sangat tinggi yang lahir dari
perubahan-perubahan akar kata kalimat itu sendiri (morfologi). Ia datang
dari kata as-Sabh (السَّبْحُ) yang berarti bepergian
jauh, kemudian menjadi at-Tasbih (التَّسْبِيْحُ) yang
berarti penyucian. Dan selanjutnya dari masdar tersebut (original noun)
menjadi penamaan tersendiri terhadap pujian tertentu, yaitu سبحان,
danسبحان itu sendiri berarti: Saya senantiasa
menyucikan-Mu dengan penyucian yang layak terhadap kebesaran dan
keagungan-Mu.” [Lihat: Syekh Abu as-Suûd al-Imâdî,
Tafsir Abi
as-Suûd, vol. 2, hlm. 343-344].
[2] Said Nursi,
al-Maktubat,
vol.2, hlm. 586
[3] Lihat: Syekh Abi as-Suûd al-Imâdî,
Op.
cit, vol. 2, hlm. 343
Untuk
berita terbaru, ikuti PKS Grogol di dan
Facebook