Ketika Kita Tak Setuju Dengan Syuro

Oleh: Ust. Anis Matta

pksgrogol.com – Jakarta. Rasanya perbincangan kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil syuro? Bagaimana "mengelola" ketidaksetujuan itu?

Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk.

Kita semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan yang berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun proses tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai dengan meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika personal, organisasi, dan lingkungan strategis dakwah tetap saja akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbedaan.Di sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan pengalaman spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari jalan dakwah, salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil syuro.

Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani "pengalaman keikhlasan" seperti itu? Pertama, marilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang sebenarnya merupakan sekedar "lintasan pikiran" yang muncul dalam benak kita selama rapat berlangsung.

Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam syuro. Itu kebiasaan yang buruk dalam syuro. Namun, ngotot atas dasar lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para duat yang ngotot mempertahankan pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh.

Tapi, seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari kita belajar tawadhu. Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."

Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu di dalam diri kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk "ngotot"? Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah "obsesi jiwa" kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun —karena faktor setan— kita mengatakannya demikian.

Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt. Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seandainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, syuro pun membela hal yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw., "Umatku tidak akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan." Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.

Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jamaah dakwah jauh lebih utama dan lebih penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi memang lebih benar.

Karena, berkah dan pertolongan hanya turun kepada jamaah yang bersatu padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah bahkan jauh lebih penting dari kemenangan yang kita raih dalam peperangan. Jadi, seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu, itu jauh lebih baik daripada kita menang tapi kemudian bercerai berai. Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak tertandingi setelah iman kepada-Nya.

Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan kesatuan dan keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi tingkat resikonya atau menciptakan kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu. Bisa juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara yang logis, tepat waktu, dan tanpa resiko. Itulah hikmah Allah swt. sekaligus merupakan satu dari sekian banyak rahasia ilmu-Nya.

Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro karena hikmah tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berlalunya waktu. Dan, alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman dakwah kita.

Keempat, sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar tentang begitu banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah, tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna tsiqoh (kepercayaan) kepada jamaah.


Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Allah swt. yang mungkin belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang akan datang.

Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak.


Sumber: pksnongsa
Untuk berita terbaru, ikuti PKS Grogol di Twitter dan Facebook

Ini Komposisi Baru Anggota F-PKS di Seluruh Alat Kelengkapan DPR


pksgrogol.com – Jakarta. Senayan - Rotasi yang dilakukan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) tak hanya terjadi di level pimpinan komisi. Sejumlah anggota komisi dan alat kelengkapan DPR lainnya juga digeser. Hal itu juga berlaku bagi anggota F-PKS yang dilantik pada 19 Oktober 2011 yakni Mardani (pengganti Arifinto), Indra (pengganti Yoyoh Yusroh), dan M Firdaus (pengganti Mukhamad Misbakhun).

Sebelumnya, Mardani ditempatkan di Komisi V. Bahkan, saat reses lalu dia mengikuti kunker Komisi V ke Sumatera Barat. Kini, Mardani ditempatkan di Komisi VII. Sementara, Indra yang sebelumnya ada di Komisi I, kini ditempatkan di Komisi III, menggantikan Fahri Hamzah yang digeser ke Komisi VI. Sedangkan M Firdaus yang sebelumnya di Komisi X, kini ditempatkan di Komisi XI.

Berikut komposisi baru anggota F-PKS di seluruh alat kelengkapan DPR, seperti yang disampaikan humas F-PKS DPR RI dalam rilis yang diterima Jurnalparlemen.com, Selasa (15/11).

KOMISI I:
1. Al Muzammil Yusuf  (Kapoksi)
2. Muhammad Hidayat Nurwahid
3. Luthfi Hasan Ishaq
4. M. Syahfan Badri Sampurno (Banggar)
5. Mahfudz Abdurrahman
6. Mahfudz Siddiq (Ketua Komisi)
  
KOMISI II:
1. Gamari Sutrisno
2. Agus Poernomo (Kapoksi)
3. Yan Herizal
4. Aus Hidayat Nur
5. Rahman Amin
  
KOMISI III:
1. M Nasir Djamil  (Waka Komisi)
2. Indra
3. Bukhori Yusuf
4. Aboe Bakar (Kapoksi)
5. Adang Daradjatun
  
KOMISI IV:
1. Nabiel Fuad Al Musawwa
2. Ma'mur Hasanuddin
3. Memed Sosiawan  (Banggar)
4. Rofi' Munawar  (Kapoksi)
5. Hermanto
  
KOMISI V:
1. Sigit Sosiantomo
2. Iskan Qalba Lubis
3. Akbar Zulfakar (Kapoksi)
4. Yudi Widiana Adia  (Banggar)
5. Chairul Anwar
  
KOMISI VI:
1. M. Sohibul Iman (Kapoksi)
2. Ecky Awal Mucharam (Banggar)
3. Abdul Aziz Suseno
4. Fahri Hamzah
5. Refrizal
  
KOMISI VII:
1. M. Idris Luthfi (Kapoksi)
2. Mardani Ali Sera
3. Sugihono
4. Mustafa Kamal
5. Ahmad Rilyadi (Banggar)
  
KOMISI VIII:
1. Surahman Hidayat  (Waka Komisi)
2. Abdul Hakim
3. Ledia Hanifa A. (Kapoksi)
4. Jazuli Juwaini (Banggar)
5. Nur Hasan Zaidi
  
KOMISI IX:
1. Herlini Amran
2. Ansory Siregar (Kapoksi)
3. Zuber Safawi
4. Martri Agoeng (Banggar)
5. Arief Minardi
  
KOMISI X:
1. Raihan Iskandar (Kapoksi)
2. Ahmad Zainuddin
3. TB. Soenmandjaja SD
4. Tamsil Linrung (Banggar)
5. Rohmani
  
KOMISI XI:
1. Kemal Azis Stamboel (Kapoksi)
2. M. Firdaus
3. Tossy Aryanto
4. Andi Rahmat (Banggar)
5. Zulkieflimansyah (Wakil Ketua Komisi)
  
Badan Musyawarah (Bamus):
1. Mustafa Kamal
2. Abdul Hakim
3. M. Shohibul Iman
4. Al Muzzammil Yusuf
5. Ecky Awal Mucharam
6. Ledia Hanifa
  
Badan Legislasi (Baleg):     
1. TB. Soenmandjaja
2. Agus Poernomo
3. Aus Hidayat Nur
4. Mardani Ali Sera
5. Abdul Hakim
  
Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP):
1. Ma’mur Hasanuddin
2. Muhammad Hidayat Nur Wahid (Ketua BKSAP)
3. Al Muzammil Yusuf  
4. Luthfi Hasan Ishaaq
5. Bukhori Yusuf
  
Badan Anggaran (Banggar):
1. M.Syahfan Badri S.
2. Memed Sosiawan
3. Yudi Widiana Adia
4. Ecky Awal M.
5. Ahmad Rilyadi
6. Jazuli Juwaini
7. Martri Agoeng
8. Tamsil Linrung (Waka Banggar)
9. Andi Rahmat
  
Badan Urusan Rumah Tangga (BURT):   
1. Rohmani
2. Refrizal (Waka BURT)
3. Hermanto
4. Nabiel Al Musawa
5. Ledia Hanifa

Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN):
M Sohibul Iman

Badan Kehormatan (BK):     
Fahri Hamzahend 
 
Untuk berita terbaru, ikuti PKS Grogol di Twitter dan Facebook
 

Soemandjaja Ngantor ke DPR dengan Angkutan Umum

pksgrogol.com – Jakarta. RakyatMerdekaOnline. Tak semua anggota DPR hidup glamor. Salah satu anggota DPR yang dikenal hidup sederhana dan bersaja adalah TB Soemandjaja. Anggota Komisi II dari Fraksi PKS ini tidak canggung menggunakan angkutan saat pulang dan pergi kerja ke gedung DPR di Senayan.

Soemandjaja sudah jadi anggota DPR sejak 1999. Dengan gaji yang diterima tiap bulannya, dia mengaku sudah sangat cukup. Saat ini sebenarnya dua punya dua mobil, Toyota Rush dan Suzuki APV. Namun untuk pergi kerja, dia lebih senang angkutan umum.
 

"Rumah saya di sebuah kampung di Kabupaten Bogor. Setiap berangkat, saya jalan kaki dulu ke tempat angkot ngetem, kemudian disambung naik kereta ke stasiun Karet. Dari Karet, saya naik Kopaja 608 lalu turun di depan gedung DPR," tuturnya kepada wartawan.

Kenapa memilih naik angkutan umum? Soemandjaja mengatakan, anggota DPR beda dengan pengusaha. Dia jadi anggota DPR karena ada orang yang mau memilihnya. Karena itu, sebisa mungkin dia menghargai para pemilihnya dengan hidup sederhana.

Soemandjaja mengaku sesekali dirinya juga memang pakai kendraan pribadi ke DPR. Tapi, itu dilakukan hanya saat dia harus membawa berkas banyak atau saat kerjaan di DPR sangat padat. "Kalau dihitung, tidak satu bulan sekali saya pakai kendaraan pribadi," katanya.

Baginya, naik kendaraan umum lebih enak. Sebab, di dalam kendraan umum semacam kereta, dia bisa ketemu dengan banyak orang. Bisa diskusi dan bisa menyerap aspirasi. Karena itu, dia mengajak koleganya di DPR untuk sesekali mencoba menggunakan kendaraan umum. "Anggota DPR memang sepantasnya membatasi diri. Walau mampu, ya sebisa mungkin agar tetap sederhana. Sebab, jabatan DPR beda dengan pengusaha. DPR itu dipilih rakyat," tuturnya. [dem]


Untuk berita terbaru, ikuti PKS Grogol di Twitter dan Facebook

Rahmat Abdullah, Simbol Spiritualisme Dakwah Kita

oleh : Anis Matta, Lc.

pksgrogol.com – Jakarta. Suatu hari, lebih dari 15 tahun lalu, lelaki itu datang dengan tenang. Jaket tentara rada lusuh yang ia kenakan membuatnya tampak gagah dan berwibawa. Tapi kelembutan tetap memancar kuat dari sorot matanya. Disana ada cinta. Disana ada cinta. Memanggil-manggil. Seperti sinar purnama yang memancar kuat menembus awan malam. Itulah pertama kali saya melihat guru saya, KH.Rahmat Abdullah, ketika beliau mengisi salah satu materi dalam sebuah dauroh di Puncak.  Saya masih mahasiswa saat itu. Pertemuan pertama itu menguatkan kesan yang telah terbentuk sebelumnya dalam benak saya tentang wajah seorang dai, seorang murobbi, seorang mujahid. Setidaknya pada biografi tokoh-tokoh pejuang Ikhwan di Mesir, atau Jamaat Islami di Pakistan, atau Masyumi di Indonesia.


Ketika beliau berbicara lebih dalam mengenai fiqh dakwah, saya segera menyadari bahwa kedua kaki saya telah melangkah jauh kedalam kafilah dakwah yang selama ini hanya saya rasakan dalam bacaan. Walaupun sama-sama berada dalam kafilah dakwah ini, tapi bertahun-tahun kemudian saya belum pernah bertemu dengan beliau dalam satu tim kerja. Sampai akhirnya perjalanan dakwah ini menemukan hajat besar untuk membentuk partai politik. Berdirilah Partai Keadilan pada tahun 1998. Sejak itu hingga beliau wafat pada Selasa 14 Juni 2005 lalu, saya bertemu secara intensif dengan beliau di Lembaga Tinggi Partai.

Di antara pelajaran hidup yang saya peroleh dalam perjalanan dakwah ini adalah fakta bahwa wazan atau timbangan seseorang dalam hati kita, atau dalam komunitas kita, biasanya baru menjadi nyata dan jelas setelah orang itu pergi. Mungkin ini salah satu hikmah mengapa Islam melarang kita menyanjung orang hidup: karena kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupannya akan berujung.

Setelah seseorang pergi, kita segera tahu "ruang kosong" apa yang ditinggalkan orang itu dalam hati kita, atau dalam komunitas kita. Kesadaran kita tentang ruang kosong itu tidak akan pernah begitu jelas selama orang itu masih hidup dan berada di antara kita, sejelas ketika orang itu akhirnya pergi. Ruang kosong yang dirasakan setiap orang pada seseorang tentu saja berbeda-beda. Tapi jika orang-orang itu berada dalam komunitas yang sama, maka ruang kosong yang kita rasakan secara kolektif biasanya selalu sama.  Kalau kita menelusuri ruang kosong yang ditinggalkan seorang tokoh, lalu kita mencoba menemukan "kunci kepribadian" tokoh itu, biasanya kita akan menemukan takdir sejarahnya secara lebih akurat. Kunci kepribadian adalah alat kecil yang membuka pintu bagi kita untuk menemukan penjelasan tentang makna dan korelasi dari setiap tindakan seseorang. Itu dua kata kunci: ruang kosong dan kunci kepribadian, yang mengantar kita untuk menemukan tempat dimana seorang tokoh bersemayam dalam sejarah.

Jika belajar sejarah lebih dalam, kita akan menemukan satu fakta bahwa tokoh-tokoh memberikan porsi yang sangat besar dalam menjelaskan berbagai peristiwa besar dalam sejarah. Walaupun bukan merupakan seluruhnya, tapi Hasan Al Banna adalah penjelasan besar tentang fenomena Ikhwanul Muslimin di Mesir. Begitu juga Al Maududi adalah penjelasan besar tentang Jemaat Islami di Pakistan. Seperti juga Cokroaminoto, Soekarno, Agus Salim, Natsir, Tan Malaka, Aidit adalah penjelasan besar tentang Indonesia pada paruh pertama abad 20.

Tidak sulit bagi mereka yang pernah berinteraksi lama dengan Rahmat Abdullah untuk menyimpulkan bahwa beliau adalah simbol spiritualisme PKS.

Spiritualisme adalah kata kunci menjelaskan dan merangkum sifat-sifat utama beliau: ikhlas, zuhud, wara’, tawadhu’, shidiq dan cinta. Tampak luar dari semua sifat itu adalah kelembutan. Dan itulah yang kita rasakan dalam setiap interaksi dengan beliau: selalu ada canda, selalu ada kehangatan, selalu ada kegembiraan, selalu ada cinta. Tapi semua terengkuh dalam nuansa spiritual yang kental. Jiwanya seperti ruang besar yang dapat menampung semua karakter. Karena itu anak-anak muda dengan berbagai karakter merasakan ketenangan batin saat bersama beliau: semacam limpahan kasih sayang yang tak pernah habis. Dalam halaqahnya berkumpul para intelektual, pengusaha, aktivis sosial dan lainnya. Dan yang unik, seorang murid beliau yang memiliki latar belakang kehidupan anak-anak tentara yang keras dan kasar mengatakan bahwa hanya karena kelembutan beliau saya bisa bergabung dengan dakwah ini. Mungkin itu sebabnya para kader lantas menjuluki beliau sebagai Syekh Tarbiyah.

Kita juga merasakan sentuhan spiritualitas yang kuat itu ketika beliau membacakan doa dalam demonstrasi-demonstrasi mendukung perjuangan saudara-saudara kita di Palestina, Irak, Afghanistan dan lainnya. Isi doa-doa beliau merefleksikan hati penuh makrifat pada Allah swt. Makrifat itulah yang menyentuh dan menundukkan hati kita pada Allah swt: tiba-tiba saja hiruk pikuk demo berubah menjadi majlis zikir yang khusyuk, dan teriakan-teriakan perlawanan berubah jadi tangis jiwa yang pilu bertawakkal.

Ketika sifat-sifat utama dibawa kedalam kerja-kerja dakwah yang bersifat struktural dalam kerangka amal jama’i, beliau selalu bisa bekerjasama dengan semua orang. Sifat-sifat utama itu mungkin tidak selalu kompatibel dengan jabatan-jabatan struktural yang memerlukan keterampilan manajerial dan tehnis. Tapi sifat-sifat itu efektif menyatukan orang-orang dengan potensi tehnis. Karena itu, mungkin prestasi terbaik beliau adalah ketika beliau menduduki posisi sebagai ketua bidang kaderisasi di DPP sebelum akhirnya menduduki posisi sebagai ketua MPP. Disana anak-anak muda dengan kemampuan tehnis dan manajerial yang bagus menjadi sebuah tim kaderisasi yang kompak dibawah bimbingan seorang syekh yang mengayomi dengan lembut, dan berhasil mentransformasi kerja-kerja tarbiyah kedalam kerangka institusi dengan landasan sistem yang kokoh. Warisan inilah yang merupakan salah satu penjelasan tentang lompatan besar dalam sistem dan kemampuan kerja tim kaderisasi PKS.

Rahmat Abdullah telah pergi merengkuh takdir sejarahnya justru ketika dakwah ini sedang memasuki babak baru dengan tantangan-tantangan baru. Menghabiskan seluruh usia produktifnya dalam perjuangan dakwah, Rahmat Abdullah telah meninggalkan ruang kosong yang besar: simbol spiritualisme dakwah kita yang selalu menghadirkan cinta dalam semua kerja dakwah. Para pencinta adalah pemilik ruh yang lembut. Rahmat Abdullah adalah ruh yang lembut: lembut seluruh hidupnya, lembut cara perginya.

Sumber: pks-diy
Untuk berita terbaru, ikuti PKS Grogol di Twitter dan Facebook